Jakarta, nusantarabicara -- Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) bersama Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Sint Carolus menggelar Serial Kuliah Umum Kesehatan ke-3 dengan tema “Kebijakan,Komunikasi,dan Teknologi dalam Membangun Sistem Rujukan Kesehatan yang Efektif dan Inklusif” pada Jum'at (05/12/2025) di Gedung Pascasarjana STIK Sint Carolus, Salemba Tengah,Jakarta Pusat.
Acara ini menjadi ruang dialog strategis untuk menjawab tantangan Sistem Rujukan Kesehatan yang hingga kini masih menjadi persoalan mendasar dalam pemerataan layanan kesehatan di Indonesia.
Kuliah Umum ini menghadirkan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto,Sp.Rad (K) Penasihat Khusus Presiden Bidang Kesehatan sebagai pemberi keynote speech.
Dalam paparannya,Prof. dr. Terawan menekankan bahwa sistem rujukan merupakan “jantung dari layanan kesehatan” yang menentukan kualitas penanganan pasien di seluruh pelayanan.
Prof. dr. Terawan menegaskan bahwa pusat dari sistem kesehatan bukanlah fasilitas atau tenaga medis,tetapi pasien itu sendiri. “Ketika kita membangun sistem rujukan,yang harus ditempatkan di tengah adalah manusia pasien bukan teknologi atau prosedur,”ujarnya.
Prof. dr. Terawan menyoroti bahwa teknologi justru harus “memanusiakan”,bukan menambah kerumitan administrasi. Ia juga memaparkan tantangan klasik yang masih membayangi pelaksanaan rujukan di Indonesia,seperti disparitas antarwilayah,beban rujukan yang terlalu berat di rumah sakit rujukan besar,serta perbedaan standar kompetensi di berbagai daerah.
Selain itu,Prof. dr. Terawan menyinggung belum terintegrasinya data kesehatan nasional akibat perbedaan sistem di tingkat daerah yang mengacu pada otonomi daerah.
Menurut Prof. dr. Terawan,sistem rujukan ideal harus dibangun sebagai sebuah ekosistem terpadu. Integrasi mulai dari puskesmas hingga rumah sakit tingkat lanjut diperlukan agar beban layanan dapat terdistribusi dengan baik. “Kalau ekosistemnya tidak terbangun,pasien yang paling dirugikan,”tegasnya.
Sementara itu,Dr. Obrin Parulian,M. Kes,Direktur Pelayanan Klinis Kementerian Kesehatan RI, menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan program kesehatan untuk semua yang berarti menjangkau semua penduduk,seluruh jenis layanan,dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Target ini menjadi tantangan tersendiri mengingat beban penyakit di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Obrin juga mengungkap kebutuhan nasional terhadap sekitar 70.000 dokter spesialis,sebuah angka yang mencerminkan kesenjangan besar dalam ketersediaan tenaga kesehatan di berbagai daerah. Pemerintah kini melakukan perubahan mendasar dalam pengelolaan rumah sakit, termasuk mengubah sistem klasifikasi rumah sakit yang sebelumnya berbasis jumlah tempat tidur, menjadi berbasis kemampuan layanan.
“Dengan pendekatan baru ini,rujukan bisa lebih tepat sasaran karena pasien dirujuk berdasarkan kemampuan layanan,bukan sekadar kapasitas fisik,”jelas Obrin.
Obrin menambahkan bahwa transformasi layanan rujukan membutuhkan kolaborasi lintas sektor yang berkelanjutan.
Dari sisi komunikasi publik,FX Handoko Agung,S.Sos,Komisioner Komisi Informasi Pusat,menjelaskan pentingnya transparansi informasi dalam mendukung kelancaran sistem rujukan. Menurutnya,masyarakat berhak memperoleh informasi yang jelas,akurat,dan mudah diakses terkait layanan kesehatan. “Transparansi adalah kunci rujukan yang tepat, efisiensi layanan,dan peningkatan kepercayaan publik,”kata Handoko.
Handoko mengingatkan bahwa keterbukaan informasi tidak hanya bermanfaat bagi pasien,tetapi juga bagi fasilitas kesehatan karena dapat meminimalkan miskomunikasi dan meningkatkan akuntabilitas.
Sementara itu,perspektif teknologi disampaikan oleh dr. Gregorius Bimantoro,praktisi digital dari AHI. Ia menyoroti problem fragmentasi layanan dan panjangnya antrean rujukan yang sering kali menyebabkan hilangnya ‘golden period’ pada kasus gawat darurat. “Fragmentasi membuat proses rujukan tidak mulus,sehingga waktu penanganan menjadi lebih lama,”ujarnya.
Sebagai solusi,Bimo menyoroti peran platform Satu Sehat dan telemedisin sebagai langkah awal untuk menyatukan data dan mempercepat alur penanganan. Ia menekankan tiga manfaat utama digitalisasi dalam sistem rujukan: aksesibilitas, kecepatan,dan efisiensi. Menurutnya, dengan integrasi teknologi yang baik, proses rujukan dapat dilakukan secara real-time sehingga pasien mendapatkan layanan yang lebih cepat dan tepat.
Moderator acara,dr. Veronica Feinditi, MARS,menegaskan bahwa diskusi ini bukan hanya ajang pertukaran gagasan,tetapi juga momentum untuk memperkuat kolaborasi lintas disiplin. Veronica menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah,tenaga kesehatan,akademisi,dan pelaku teknologi untuk mendorong transformasi Sistem Rujukan Kesehatan nasional.
Acara yang berlangsung selama tiga jam ini dihadiri oleh akademisi,praktisi kesehatan,mahasiswa, dan perwakilan lembaga terkait. Diskusi berlangsung interaktif dengan berbagai pertanyaan kritis seputar implementasi sistem rujukan serta strategi menghadapi tantangan di lapangan.
Melalui Serial Kuliah Umum Kesehatan ke-3 ini,ISKA dan STIK Sint Carolus berharap dapat memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan sistem rujukan yang lebih inklusif,terintegrasi,dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Para pembicara sepakat bahwa masa depan layanan kesehatan Indonesia sangat bergantung pada kemampuan sistem untuk berkolaborasi dan beradaptasi. (Git)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar