Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia

Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia
Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh. Itulah Motto Media Kami
Home » » Duka Cita untuk Kresna Wahyu, Bendera Hitam untuk Kampus Biru

Duka Cita untuk Kresna Wahyu, Bendera Hitam untuk Kampus Biru

Written By Nusantara Bicara on 2 Apr 2017 | April 02, 2017

Innalillahi wainnaillaihi rajiun. Duka cita yang mendalam sebagai seorang abang alumni atas berpulangnya adik siswa Kresna Wahyu di kampus biru SMA Taruna Nusantara. Semoga almarhum di usia yang demikian muda wafat dengan husnul khatimah, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran. Tak terperi pasti pedihnya sang ibu ditinggalkan seorang putra, tak terperi juga pedihnya ibu pertiwi kehilangan seorang tunas mudanya.

Namun duka cita yang juga mendalam juga disematkan kepada SMA Taruna Nusantara. Almamater kebanggaan yang melepasku hampir 22 tahun yang lalu, yang hari ini menjadi buah bibir masyarakat karena sebuah alasan yang sangat berbeda dibanding biasanya. Bukan karena prestasi sekolahnya, atau karena kebanggaan akan alumninya, atau kunjungan seorang Presiden dan pejabat negara lainnya. Tapi karena sebuah tindakan yang paling mengerikan oleh seorang umat manusia: pembunuhan.

Ini Pembunuhan, bukan Kekerasan dalam Hidup Berasrama!

Perlu ditekankan sekali lagi bahwa yang terjadi dini hari tadi adalah sebuah pembunuhan, dan bukan sebuah kekerasan hasil bullying (perundungan) sebagai ekses dari sebuah kehidupan berasrama. Pembunuhan yang bisa terjadi di mana saja, tidak harus dan tidak hanya dalam kehidupan berasrama. Bukan kehidupan berasramanya yang salah, atau sistem pendidikannya yang menghasilkan si pembunuh. Kehidupan berasrama pun tidak selayaknya menghasilkan perundungan, melainkan kedekatan dan kebanggaan bersama yang bisa berkembang menjadi sebuah perasaan persaudaraan.

Namun demikian, bahwa sebuah pembunuhan demikian keji bisa terjadi dalam kehidupan berasrama yang ketat terawasi selama 24 jam, tentunya merupakan tamparan bagi segenap keluarga besar SMA Taruna Nusantara. Para siswa tidur di dalam barak -kami menyebutnya Graha- yang isinya paling tidak 30-an orang danhanya dibatasi dengan lemari dan meja belajar satu sama lain. Demikian rapat dan lekat. Para Pamong -panggilan khas kami untuk para guru- Pengajar Pengasuh juga tinggal di kompleks perumahan dalam lingkungan yang sama dan setiap saat standby untuk membimbing siswa. Bahkan, ada pula namanya Pamong Graha, yang kebanyakan adalah para purnawirawan tentara, yang siap sedia memantau secara berkala kehidupan berasrama para siswa.

Tentunya menjadi pertanyaan besar, apa yang terjadi dengan tatanan kehidupan berasrama yang penuh asah, asih dan asuh sekarang? Bagaimanakah suasananya sehingga memungkinkan bagi munculnya sebuah pikiran  jahat dan bahkan, mengeksekusinya bak profesional dengan darah dingin? Dengan segala hormat kepada para Pamong yang telah ikut membesarkan dan mendidik saya, ini saatnya kita mengecam keras dan mengevaluasi tuntas atas kesalahan sistemik apa yang secara mendasar sedang dialami oleh SMA Taruna Nusantara. Tak boleh lagi ada pihak yang bisa mengelak, bahwa kondisi SMA ini menurun drastis hingga -mudah-mudahan dengan demikian- ada pada titik nadirnya. Karena titik nadirlah momentum untuk berbalik arah kembali ke atas dan bukannya terus terjerembab dalam kehancuran.

Pentingnya Input - Proses - Output dan Intervensi yang Merusaknya!

Tak perlu dijelaskan bahwa untuk sebuah sistem berjalan ada input - proses dan output. Dalam SMA TN, satu hal yang menjadi kekuatannya di masa lalu adalah INPUT yang bagus. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, lewat sebuah seleksi dengan jenjang berlapis di seluruh provinsi, SMATN bisa mendapatkan input yang sebaik-baiknya dari seluruh nusantara. Hal ini terjadi terutama dengan dukungan dua hal. 

Pertama, ketiadaan atau paling tidak minimnya intervensi terhadap mekanisme seleksi yang ada. Para founding father SMA TN dulu sungguh bijak untuk tidak berbondong-bondong menitipkan kepentingan pribadi atau keluarga atau koleganya untuk menikmati pendidikan di sana. 

Kedua, yang tak kalah pentingnya, tiadanya sekat biaya bagi anak bangsa dari lapisan mana pun untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Dari anak petani dan tukang becak, hingga anak jendral atau cucu wakil presiden, dahulu semua bisa menikmati pendidikan ini dengan perlakuan sama. 

Angkatan pertama di tahun 1990 hingga angkatan yang lulus di tahun 2004 adalah angkatan "TN Gratis". Tanpa bermaksud mendikotomikan antara angkatan "TN Gratis" dan "TN Bayar", tak pelak bahwa pada periode itulah mulai terjadi perubahan drastis pada SMA ini. "TN Bayar" tentu banyak yang baik dan berhasil. "TN Gratis" pun tak sepenuhnya semua sukses dan baik. Namun pada titik itulah mulai terjadi perbedaan pada proses mendapatkan INPUT bagi proses pendidikan tersebut. Apalagi ketika tangan yang mewakili kepentingan sebagian orang tua yang berkuasa dan mampu membayar, sedikit banyak ikut mengintervensi bukan hanya input namun juga prosesnya.

Di situlah -dan hingga di hari ini- kita mulai mendengar, adanya gank-gank, pengelompokan-pengelompokan, di antara anak-anak yang inputnya berbeda tadi. Genk anak gaul, genk anak jendral, genk anak polisi, genk anak Jakarta, dan lain-lain yang ternyata menghasilkan solidaritas parsial berdasarkan ikatan yang bukan lagi kebangsaan dan kenusantaraan, tapi kotak-kotak asal dan kelas sosial. 

Distorsi input ini jugalah yang sangat mungkin mengakibatkan lolosnya calon siswa yang bisa terbersit dalam benaknya di usia 15 tahun, untuk bertindak demikian keji. Saya ingat betul, adanya mekanisme seleksi hingga test psikologi yang bisa mendeteksi potensi kejiwaan yang membahayakan semacam ini di seleksi masuk SMA Taruna Nusantara. Patut diduga, intervensi atas mekanisme mendapatkan input calon siswa yang telah mengakibatkan hal ini.

Hentikan Tangan Oknum Lembaga dan Yayasan, Sadarkan Para Orangtua untuk Tak Merusak Masa Depan!

Sembari segala upaya difokuskan untuk menyelidiki kasus ini oleh polisi dan menegakkan hukum pidana yang berlaku sesuai ketentuan, kejadian ini harus menjadi momentum untuk membongkar semua kebobrokan yang terjadi dalam pengelolaan SMA TN. Bukan hanya bendera setengah tiang kita kibarkan di depan Balairung Pancasila. Namun bendera hitam perlu kita selimutkan di atas kampus biru SMA Taruna Nusantara. Lakukan moratorium penerimaan dan merombak sepenuhnya pengelolaan dan kendali atas SMA ini. Lembaga dan Yayasan yang selama ini menjadi tempat masuknya distorsi dan intervensi, agar dibekukan dan pengelolaan diambil alih oleh Pemerintah. Alumni agar dilibatkan untuk mendidik, membersihkan dan mengendalikan sebagai bentuk tanggung jawab dan balas budinya terhadap kampus yang telah membesarkan mereka.

Wahai para orang tua yang ingin anaknya mendapatkan pendidikan berkualitas, sadarlah bahwa pendidikan ini justru menjadi baik karena ketiadaan campur tangan Anda dalam input maupun prosesnya. Biarkanlah sistem asah-asih-asuh yang ada di dalamnya melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Hindarkan perilaku transaksional dengan oknum dalam sistem, demi memberikan keistimewaan atau kemudahan bagi anak kita, seberapa pun besarnya rasa sayang kita kepadanya.

Pada akhirnya, saya mengingat pesan yang disampaikan kepada beberapa alumni SMA TN di saat menghadap seorang tokoh nasional di medio 2013. Pesan itu berupa pertanyaan, "Kalau kita punya sebuah mobil baru yang mengkilat dan kita banggakan, kapankah pertanda mulai lunturnya kebanggaan kita itu? Jawabannya adalah ketika mulai muncul noda atau goresan pertama, akibat kita tak awas dalam menjaganya".
Dan untuk mengembalikan kebanggaan itu, butuh upaya sangat keras untuk menghilangkan goresan tersebut agar semuanya kembali seperti sedia kala. Sangat keras, sehingga mungkin lebih berat dibandingkan mendapatkan yang baru.

Menjadi tantangan besar bagi SMA Taruna Nusantara, akankah noda goresan ini bisa dihilangkan dan mengembalikan kondisinya seperti sedia kala.

Penulis: AGW920704
Alumni SMA Taruna Nusantara
Tunduk kepala untuk adik Kresna
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2018 - All Rights Reserved
Created by Nusantara Bicara