NUBIC,.JAKARTA,.Pada
28 April 2017, DPR RI melakukan Sidang Paripurna yang salah satu materi
pembahasannya adalah mengenai hak angket DPR RI terhadap KPK RI. Wacana
ini sudah bergulir sejak beberapa waktu yang lalu, terutama sejak salah
satu anggotanya, Miryam S. Haryani, diperiksa sebagai saksi dalam
perkara korupsi KTP elektronik (KTP-el).

1. Pengambilan keputusan Tidak Sah dan sepihak*
Ketentuan mekanisme angket diatur dalam Pasal 199 ayat (3) Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR/DPRD dan DPD (baca MD3).
Ketentuan
tersebut berbunyi : Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan
diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota
DPR yang hadir.
Mekanisme
ini justru tidak dilakukan oleh pimpinan sidang. Wakil Ketua DPR RI,
Fahri Hamzah segera mengetok palu sidang untuk mengambil keputusan.
Interupsi dari anggota-anggota yang menolak pengambilan keputusan sidang
tersebut justru diabaikan. Alhasil, banyak anggota sidang yang walk out
dan tidak turut dalam voting yaitu Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat,
dan Fraksi PKB.
2. Tindakan Fahri Hamzah illegal dan sewenang-wenang (abuse of power)*
Tindakan
wakil ketua DPR yang memutuskan sepihak tanpa adanya persetujuan
anggota, merupakan tindakan illegal dan sewenang-wenang. Lebih lanjut
lagi, tindakan ini merendahkan hak masing-masing anggota DPR untuk
memberikan sikap atas pengajuan hak angket tersebut. Kewenangan
pengambilan keputusan bukanlah hak pimpinan, melainkan pada anggota.
3. Angket tidak dapat dilakukan*
Oleh
karena prosedur formal tidak terpenuhi, maka Hak Angket cacat hukum dan
tidak bisa dilanjutkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu
datang ke forum yang illegal dan cacat hukum tersebut.(*)
Posting Komentar