www.nusantarabicara.co

www.nusantarabicara.co
Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia
Home » » MENYOAL KEBEBASAN PERS & PERS SEBAGAI PILAR DEMOKRASI

MENYOAL KEBEBASAN PERS & PERS SEBAGAI PILAR DEMOKRASI

Written By Nusantara Bicara on 30 Nov 2017 | November 30, 2017

oleh :

Fajar Kurniawan, S.Sos, M.Si
Jurnalis Utama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia

Demokrasi ialah mendengar suara rakyat. Untuk dapat mendengar aneka ragam suara rakyat (diverse voices), strateginya pasti bukan dengan meniadakan kebebasan pers, tetapi dengan melindungi dan menjamin kebebasan pers.” (Joko Widodo Presiden ke-7 RI)
 

Membaca dan merenungi kata-kata bijak Presiden Jokowi di atas tentu membuat insan pers berbunga-bunga. Jelas arti didalamnya bukan hanya sebagai pesan yang membangkitkan moral namun lebih dari itu yakni pesan kemerdekaan Pers. Kemerdekaan Pers itu sendiri dijamin dalam konstitusi negeri ini.  Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers menyebutkan, “Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Ini artinya, kemerdekaan pers dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum, sehingga kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sesuai dengan hati nurani insan pers.

Tak berlebihkan jika Pers ditempatkan dalam bingkai demokrasi sebuah negara. Pada masa Orde Baru, pers Indonesia sempat mengalami dua kondisi yang bertolak belakang, yakni saat peristiwa Malari 1974 merupakan titik balik pers Indonesia masa Orde Baru. Sebelum Malari, orientasi media massa mengarah pada kepentingan umum, kepentingan rakyat kecil, serta memperjuangkan hak asasi manusia dan tegaknya hukum. Namun setelah Malari, pers Indonesia tak lebih dari sekadar kepanjangan tangan dari suara pemerintah (press release), bahkan buletin
pemerintah (Akbar, 1995: 1-5).

            Sudjatmiko dalam Hidayat (2000) menuliskan rezim Orde Baru menggunakan pers sebagai salah satu instrumen untuk melanggengkan kekuasaan dan menutup celah bagi oposan melalui rekayasa isu ataupun tekanan kepada lembaga pers, wartawan, bahkan keluarga mereka. Pemerintah saat itu kemudian memberlakukan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dimana SIUPP secara tidak langsung mengharuskan lembaga pers untuk tunduk kepada pemerintah dan memberangus kebebasan dalam memberitakan isu-isu sensitif. Dengan kata lain, SIUPP menyediakan kondisi yang ideal bagi pemerintah untuk mengontrol pers dan memberikan sanksi bagi lembaga pers (bahkan sampai pembredelan) secara legal (Hill, 1995: 48-49). 

            Dalam konteks kemerdekaan pers, tentu saja apa yang terjadi kala itu adalah bentuk tindak kekerasan terhadap kebebasan mengemukakan pendapat yang dijamin oleh Konstitusi tepatnya pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi,”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".

Di era reformasi saat ini, masyarakat mendambakan adanya perbaikan disegala bidang termasuk mengenai regulasi. Atas dasar itu kemduian lahir produk baru yang bermaksud menjadi payung hukum bagi perlindungan Pers di tanah air. Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers yang kemudian dikenal dengan UU Pokok Pers tahu 1999, merupakan bentuk
regulasi pada tingkat undang-undang yang pertama kali dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang mengatur mengenai dunia pers di Indonesia dalam era reformasi. Setlah sebelumnya, negara menggunakan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, yang dinilai merupakan merupakan cara pemerintah untuk mengekang kebebasan pers.  

            Bagi penulis apa yang sebutkan diatas boleh jadi merupakan gift (hadiah) bagi rakyat Indonesia terutama bagi insan Pers. Namun saat ini, kebebasan pers kembali disoal dan menjadi ironi. Belakangan insan pers juga dibuat tidak “nyaman” dengan beberapa persitiwa yang terjadi. Termutakhir adalah perbuatan tidak menyenangkan dari seorang aparatur penegak hukum terhadap dua orang jurnalis di Way Kanan Lampung yang menghina profesi wartawan. Dalam banyak berita dituliskan perwira polisi berpangkat AKBP itu melontarkan pernyataanya yang dianggap melecehkan profesi wartawan. ‘

Ia diduga melakukan pelarangan liputan terhadap dua jurnalis, yaitu Dedy Tarnando dari Radar TV dan Dian Firasta dari tabikpun.com saat meliput aksi yang hampir berujung keributan antara massa pendukung dan penolak angkutan batu bara di Kampung Negeribaru, Minggu 27 Agustus lalu. Permintaan maafpun sudah dilakukan. Meski demikian apa yang telah terjadi jelas menodai semangat kebebasan pers yang dicanangkan selama ini. 

            Pertanyaan yang muncul kemudian apakah hal itu dapat dimaklumi?. Jelas lontaran kalimat tak pantas itu tidak patut diucapkan, meskipun hal itu haruslah dilihat dari peristiwa yang terjadi dilapangan dan peristiwa sebelumnya. Insan pers seharusnya juga memahaminya. Menurut catatan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers tindak kekerasan terhadap jurnalis pada 2016 mengalami peningkatan sedikitnya telah terjadi 83 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sedangkan pada tahun sebelumnya,  LBH Pers mencatat 47 kekerasan yang menyasar jurnalis. Kasus kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik dan non fisik, seperti pelarangan liputan atau pengusiran, penganiayaan, dan ancamanan atau teror terhadap jurnalis.

Dilihat dari aspek tempat kejadian perkara, DKI Jakarta menempati tempat teratas angka kekerasan terhadap Pers sepanjang 2016, dengan total 15 kasus. Diikuti Jawa Barat 14 kasus, dan Jawa Timur sebanyak 8 kasus. Sedangkan untuk kategori pelaku tindak kekerasan, kepolisian sebanyak 16 kasus, PNS, dan massa tidak dikenal sebanyak 12 kasus. Sedangkan petugas keamanan swasta sebanyak 10 kasus. Kategori kekerasan fisik dan non fisik yang paling banyak dialami oleh jurnalis adalah pelarangan liputan dan pengusiran berjumlah 25 kasus, penganiayaan berjumlah 26 kasus, dan bentuk ancaman/teror berjumlah 12 kasus. Hal ini bisa dilihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel : Kategori Tempat dan Pelaku Kekerasan

No
Daerah
Jumlah
Pelaku
Jumlah
1
Aceh
   1
 Polisi
    16
2
Banten
   2
 Jaksa
     1
3
Bali
   2
Hakim
     2
4
DKI Jakarta
  15
PNS
    12
5
Jawa Barat
  14
Orang Tidak Dikenal
     4
6
Jawa Tengah
   3
TNI
     8
7
Jawa Timur
   8
Preman
     1
8
Kalimantan Selatan
   1
Mahasiswa
     1
9
Lampung
   3
Kelompok Massa
    12
10
NTB
   1
Petugas Keamanan
    10
11
NTT
   3
Panitia Acara
     2
12
Papua
   5
Kader Parpol/Timses
     2
13
Sumatera Selatan
   3
Akademisi
     2
14
Sumatera Barat
   2
Ormas/LSM
     4
15
Sumatera Utara
   6
Narapidanan
     1
16
Selawesi Selatan
   6
Anggota DPRD
     1
17
Sulawesi Tengah
   2
Gubernur
     1
18
Yogyakarta
   1
Walikota
     1
19
Jambi
   2
WNA
     1
20
Riau
   1 
Perusahaan Asing
     1
21
Sulawesi Utara
   2



Total
  83
Total
    83
                     Sumber: LBH Pers

Data ini menunjukkan bahwa kemerdekaan pers di era reformasi saat ini, belumlah berjalan sesuai harapan. Tentu saja problematika yang ada harus diurai dan diselesaikan serta dicari jalan solusinya. 

Miris rasanya jika membaca beberapa pemberitaan yang belakangan beredar diambil dari informasi yang tidak akurat (hoax). Pemberitaan hoax seakan menjadi referensi “wajib” ditengah canggihnya teknologi informasi yang ada saat ini. Masyarakat sangat leluasa mendapatkan informasi sebebasnya dalam genggaman, tanpa memperdulikan benar tidaknya informasi itu. Masyarakat menganggap informasi itu adalah berita. Padalah informasi hoax bukanlah produk berita (produk jurnalistik).


Peredaran informasi hoax melalui media sosial itu sangat marak pada saat tensi politik tinggi yakni menjelang Pilpres, Pilkada dan Pileg. Maraknya informasi hoax itulah yang kemudian mengundang amarah. Lagi-lagi karena mengincar sensasionalitas dan kontroversi tanpa memperdulikan kerja jurnalistik yang benar yakni cek and ricek, pengumpulan fakta, cover booth side dan kode etik, ada segelintir media yang ikut-ikutan memberitakannya. Berdasarkan data Dewan Pers (2015) menurut perkiraan di Indonesia kini ada sekitar 2.000 media media cetak. Namun dari jumlah tersebut hanya 321 media cetak yang memenuhi syarat disebut sebagai media profesional media online/siber diperkirakan mencapai angka 43.300, tapi yang tercatat sebagai media profesional yang lolos pendataan hanya hanya 168 media online saja (menyusut dari data 2014 yang mencapai 243 media online)  Selain itu hingga akhir 2015 tercatat ada 674 media radio dan 523 media televisi.

Dari sudut pandang insan pers sendiri pembenahan-pembenahan haruslah dilakukan. Pada tahun 2010 silam,  Dewan Pers menyatakan bahwa wartawan harus  mengikuti proses sertifikasi. Sertifikasi wartawan bukan sekedar pendaftaran dan pendataan tapi juga pemenuhan standar kompetensi yang diharapkan. Pada tahun yang sama Dewan Pers sudah menerbitkan standar kompetensi wartawan dan standarisasi perusahaan pers. Selain itu juga Dewan Pers melakukan verifikasi terhadap perusahaan pers yang ada yang dimaksudkan untuk mendata perusahaan pers dan memastikan sejauhmana  perusahaan pers menegakkan profesionalitas dan perlindungan terhadap wartawan guna mewujudkan kemerdekaan pers sebagai bagian dari amanat Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Selain itu, Dewan Pers menggandeng konstituennya yakni PWI, AJI dan IJTI kemudian gencar mensosialisasikan perlunya jurnalis disertifikasi dengan mengikuti Uji Kompetensi. Uji Kompetensi dimaksud adalah untuk mengukur sejauhmana seorang jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistiknya sudah sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan bisa dikategorikan profesional. 

Penulis melihat bahwa standarisasi jurnalis yang digaungkan Dewan Pers setidaknya akan menjadikan insan pers profesional. Dalam konteks kebebasan pers maka diharapkan semua pihak dapat menghormati kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan seorang jurnalis. Pers dan kemerdekaan pers adalah suatu wujud dari kedaulatan rakyat yang mempunyai peranan yang sangat penting di dalam zaman reformasi ini. Dengan pembenahan yang dilakukan diharapkan jurnalis bisa menyampaikan pesan secara fakta, akurat dan tidak menyalahgunakan kebebasan pers untuk kepentingan pribadi atau satu golongan dangan tidak memberitakan hal-hal sensasional belaka yang tidak bertanggung jawab. 

Jika hal itu terpenuhi maka bukan tidak mungkin apa yang diutarakan Presiden Joko Widodo yakni “Demokrasi ialah mendengar suara rakyat. Untuk dapat mendengar aneka ragam suara rakyat (diverse voices), strateginya pasti bukan dengan meniadakan kebebasan pers, tetapi dengan melindungi dan menjamin kebebasan pers” dapat terlaksana dan pers sebagai pilar keempat demokrasi dapat terwujud seutuhnya.
 

 


Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2018 - All Rights Reserved
Created by Nusantara Bicara