Fajar Kurniawan, S.Sos, M.Si
Jurnalis Utama Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia
“Demokrasi
ialah mendengar suara rakyat. Untuk dapat mendengar aneka ragam suara rakyat (diverse voices),
strateginya pasti bukan dengan meniadakan kebebasan pers, tetapi dengan
melindungi dan menjamin kebebasan pers.” (Joko Widodo Presiden ke-7 RI)
Membaca dan merenungi kata-kata
bijak Presiden Jokowi di atas tentu membuat insan pers berbunga-bunga. Jelas arti
didalamnya bukan hanya sebagai pesan yang membangkitkan moral namun lebih dari
itu yakni pesan kemerdekaan Pers. Kemerdekaan Pers itu sendiri dijamin dalam
konstitusi negeri ini. Undang-Undang No
40/1999 tentang Pers menyebutkan, “Kemerdekaan pers adalah suatu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan
supremasi hukum”. Ini artinya, kemerdekaan pers dijalankan di dalam
bingkai moral, etika dan hukum, sehingga kemerdekaan pers adalah kemerdekaan
yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang
dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam
Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sesuai dengan hati nurani insan pers.
Tak berlebihkan jika Pers
ditempatkan dalam bingkai demokrasi sebuah negara. Pada masa Orde Baru, pers
Indonesia sempat mengalami dua kondisi yang bertolak belakang, yakni saat peristiwa
Malari 1974 merupakan titik balik pers Indonesia masa Orde Baru. Sebelum
Malari, orientasi media massa mengarah pada kepentingan umum, kepentingan
rakyat kecil, serta memperjuangkan hak asasi manusia dan tegaknya hukum. Namun
setelah Malari, pers Indonesia tak lebih dari sekadar kepanjangan tangan dari
suara pemerintah (press release), bahkan
buletin
pemerintah (Akbar, 1995: 1-5).
Sudjatmiko
dalam Hidayat (2000) menuliskan rezim Orde Baru menggunakan pers sebagai salah
satu instrumen untuk melanggengkan kekuasaan dan menutup celah bagi oposan
melalui rekayasa isu ataupun tekanan kepada lembaga pers, wartawan, bahkan
keluarga mereka. Pemerintah saat itu kemudian memberlakukan SIUPP (Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers) dimana SIUPP secara tidak langsung mengharuskan lembaga
pers untuk tunduk kepada pemerintah dan memberangus kebebasan dalam
memberitakan isu-isu sensitif. Dengan kata lain, SIUPP menyediakan kondisi yang
ideal bagi pemerintah untuk mengontrol pers dan memberikan sanksi bagi lembaga
pers (bahkan sampai pembredelan) secara legal (Hill, 1995: 48-49).
Dalam
konteks kemerdekaan pers, tentu saja apa yang terjadi kala itu adalah bentuk
tindak kekerasan terhadap kebebasan mengemukakan pendapat yang dijamin oleh
Konstitusi tepatnya pasal 28 UUD 1945 yang
berbunyi,”Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang".
Di era reformasi saat ini, masyarakat mendambakan adanya
perbaikan disegala bidang termasuk mengenai regulasi. Atas dasar itu kemduian lahir
produk baru yang bermaksud menjadi payung hukum bagi perlindungan Pers di tanah
air. Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers yang kemudian
dikenal dengan UU Pokok Pers tahu 1999, merupakan bentuk
regulasi
pada tingkat undang-undang yang pertama kali dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang mengatur mengenai dunia pers di
Indonesia dalam era reformasi. Setlah sebelumnya, negara menggunakan
Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, yang dinilai merupakan merupakan cara pemerintah
untuk mengekang kebebasan pers.
Bagi penulis apa yang sebutkan
diatas boleh jadi merupakan gift
(hadiah) bagi rakyat Indonesia terutama bagi insan Pers. Namun saat ini, kebebasan
pers kembali disoal dan menjadi ironi. Belakangan insan pers juga dibuat tidak
“nyaman” dengan beberapa persitiwa yang terjadi. Termutakhir adalah perbuatan
tidak menyenangkan dari seorang aparatur penegak hukum terhadap dua orang
jurnalis di Way Kanan Lampung yang menghina profesi wartawan. Dalam banyak
berita dituliskan perwira polisi berpangkat AKBP itu melontarkan pernyataanya
yang dianggap melecehkan profesi wartawan. ‘
Ia
diduga melakukan pelarangan liputan terhadap dua jurnalis, yaitu Dedy Tarnando
dari Radar TV dan Dian Firasta dari tabikpun.com saat meliput aksi yang hampir berujung keributan antara
massa pendukung dan penolak angkutan batu bara di Kampung Negeribaru, Minggu 27
Agustus lalu. Permintaan maafpun sudah dilakukan. Meski demikian apa yang telah
terjadi jelas menodai semangat kebebasan pers yang dicanangkan selama ini.
Pertanyaan yang muncul kemudian
apakah hal itu dapat dimaklumi?. Jelas lontaran kalimat tak pantas itu tidak
patut diucapkan, meskipun hal itu haruslah dilihat dari peristiwa yang terjadi
dilapangan dan peristiwa sebelumnya. Insan pers seharusnya juga memahaminya. Menurut
catatan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers tindak kekerasan terhadap jurnalis pada 2016 mengalami
peningkatan sedikitnya telah terjadi 83 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Sedangkan pada tahun sebelumnya, LBH
Pers mencatat 47 kekerasan yang menyasar jurnalis. Kasus kekerasan tersebut
meliputi kekerasan fisik dan non fisik, seperti pelarangan liputan atau
pengusiran, penganiayaan, dan ancamanan atau teror terhadap jurnalis.
Dilihat dari aspek tempat kejadian perkara,
DKI Jakarta menempati tempat teratas angka kekerasan terhadap Pers sepanjang
2016, dengan total 15 kasus. Diikuti Jawa Barat 14 kasus, dan Jawa Timur
sebanyak 8 kasus. Sedangkan untuk kategori pelaku tindak kekerasan, kepolisian
sebanyak 16 kasus, PNS, dan massa tidak dikenal sebanyak 12 kasus. Sedangkan
petugas keamanan swasta sebanyak 10 kasus. Kategori kekerasan fisik dan non
fisik yang paling banyak dialami oleh jurnalis adalah pelarangan liputan dan
pengusiran berjumlah 25 kasus, penganiayaan berjumlah 26 kasus, dan bentuk
ancaman/teror berjumlah 12 kasus. Hal ini bisa dilihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel
: Kategori Tempat dan Pelaku Kekerasan
No
|
Daerah
|
Jumlah
|
Pelaku
|
Jumlah
|
1
|
Aceh
|
1
|
Polisi
|
16
|
2
|
Banten
|
2
|
Jaksa
|
1
|
3
|
Bali
|
2
|
Hakim
|
2
|
4
|
DKI Jakarta
|
15
|
PNS
|
12
|
5
|
Jawa Barat
|
14
|
Orang Tidak Dikenal
|
4
|
6
|
Jawa Tengah
|
3
|
TNI
|
8
|
7
|
Jawa Timur
|
8
|
Preman
|
1
|
8
|
Kalimantan Selatan
|
1
|
Mahasiswa
|
1
|
9
|
Lampung
|
3
|
Kelompok Massa
|
12
|
10
|
NTB
|
1
|
Petugas Keamanan
|
10
|
11
|
NTT
|
3
|
Panitia Acara
|
2
|
12
|
Papua
|
5
|
Kader Parpol/Timses
|
2
|
13
|
Sumatera Selatan
|
3
|
Akademisi
|
2
|
14
|
Sumatera Barat
|
2
|
Ormas/LSM
|
4
|
15
|
Sumatera Utara
|
6
|
Narapidanan
|
1
|
16
|
Selawesi Selatan
|
6
|
Anggota DPRD
|
1
|
17
|
Sulawesi Tengah
|
2
|
Gubernur
|
1
|
18
|
Yogyakarta
|
1
|
Walikota
|
1
|
19
|
Jambi
|
2
|
WNA
|
1
|
20
|
Riau
|
1
|
Perusahaan Asing
|
1
|
21
|
Sulawesi Utara
|
2
|
||
Total
|
83
|
Total
|
83
|
Sumber:
LBH Pers
Data ini menunjukkan bahwa kemerdekaan
pers di era reformasi saat ini, belumlah berjalan sesuai harapan. Tentu saja
problematika yang ada harus diurai dan diselesaikan serta dicari jalan
solusinya.
Miris
rasanya jika membaca beberapa pemberitaan yang belakangan beredar diambil dari
informasi yang tidak akurat (hoax). Pemberitaan hoax seakan menjadi referensi
“wajib” ditengah canggihnya teknologi informasi yang ada saat ini. Masyarakat
sangat leluasa mendapatkan informasi sebebasnya dalam genggaman, tanpa
memperdulikan benar tidaknya informasi itu. Masyarakat menganggap informasi itu
adalah berita. Padalah informasi hoax bukanlah produk berita (produk
jurnalistik).
Peredaran informasi hoax melalui media sosial itu
sangat marak pada saat tensi politik tinggi yakni menjelang Pilpres, Pilkada
dan Pileg. Maraknya informasi hoax itulah yang kemudian mengundang amarah.
Lagi-lagi karena mengincar sensasionalitas dan kontroversi tanpa memperdulikan
kerja jurnalistik yang benar yakni cek and ricek, pengumpulan fakta, cover
booth side dan kode etik, ada segelintir media yang ikut-ikutan
memberitakannya. Berdasarkan data Dewan Pers (2015) menurut perkiraan di
Indonesia kini ada sekitar 2.000 media media cetak. Namun dari jumlah tersebut
hanya 321 media cetak yang memenuhi syarat disebut sebagai media profesional
media online/siber diperkirakan mencapai angka 43.300, tapi yang tercatat
sebagai media profesional yang lolos pendataan hanya hanya 168 media online
saja (menyusut dari data 2014 yang mencapai 243 media online) Selain itu hingga akhir 2015 tercatat ada 674
media radio dan 523 media televisi.
Dari sudut pandang insan pers
sendiri pembenahan-pembenahan haruslah dilakukan. Pada tahun 2010 silam, Dewan Pers menyatakan bahwa
wartawan harus mengikuti proses
sertifikasi. Sertifikasi wartawan bukan sekedar pendaftaran dan
pendataan tapi juga pemenuhan standar kompetensi yang
diharapkan. Pada tahun yang sama Dewan Pers sudah menerbitkan
standar kompetensi wartawan dan standarisasi perusahaan pers. Selain itu juga Dewan
Pers melakukan verifikasi terhadap perusahaan pers yang ada yang dimaksudkan
untuk mendata perusahaan pers dan memastikan sejauhmana perusahaan pers menegakkan profesionalitas dan
perlindungan terhadap wartawan guna mewujudkan kemerdekaan pers sebagai bagian
dari amanat Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.
Selain itu, Dewan Pers menggandeng konstituennya
yakni PWI, AJI dan IJTI kemudian gencar mensosialisasikan perlunya jurnalis
disertifikasi dengan mengikuti Uji Kompetensi. Uji Kompetensi dimaksud adalah
untuk mengukur sejauhmana seorang jurnalis dalam melakukan kerja-kerja
jurnalistiknya sudah sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan bisa dikategorikan
profesional.
Penulis melihat bahwa standarisasi jurnalis yang digaungkan
Dewan Pers setidaknya akan menjadikan insan pers profesional. Dalam konteks
kebebasan pers maka diharapkan semua pihak dapat menghormati kerja-kerja
jurnalistik yang dilakukan seorang jurnalis. Pers
dan kemerdekaan pers adalah suatu wujud dari kedaulatan rakyat yang mempunyai
peranan yang sangat penting di dalam zaman reformasi ini. Dengan pembenahan
yang dilakukan diharapkan jurnalis bisa menyampaikan pesan secara fakta, akurat
dan tidak menyalahgunakan kebebasan pers untuk kepentingan pribadi atau satu
golongan dangan tidak memberitakan hal-hal sensasional belaka yang tidak bertanggung
jawab.
Jika
hal itu terpenuhi maka bukan tidak mungkin apa yang diutarakan Presiden Joko
Widodo yakni “Demokrasi
ialah mendengar suara rakyat. Untuk dapat mendengar aneka ragam suara rakyat (diverse voices), strateginya pasti bukan dengan
meniadakan kebebasan pers, tetapi dengan melindungi dan menjamin kebebasan pers”
dapat terlaksana dan pers sebagai pilar keempat demokrasi dapat terwujud seutuhnya.
Posting Komentar