www.nusantarabicara.co

www.nusantarabicara.co
Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia
Home » » PEMILU SISTEM NOKEN (HARI INI): DEMOKRATISKAH?

PEMILU SISTEM NOKEN (HARI INI): DEMOKRATISKAH?

Written By Nusantara Bicara on 10 Des 2017 | Desember 10, 2017

Pilkada 2018 semakin mendekat – termasuk di Provinsi Papua.  Selain pemilihan gubernur, rakyat di sejumlah kabupaten pun akan memilih bupati untuk masa jabatan 2018-2023.  Di daerah pesisir Papua, pilkada dilaksanakan dengan cara one-man-one-vote, tiap pemilih yang berhak memilih langsung atas nama dirinya sendiri.  Tetapi di kabupaten-kabupaten di kawasan pegunungan umumnya bukan cara one-man-one-vote , tetapi pemilu dengan sistem noken.

Apa itu noken?  Apa itu pemilu sistem noken? 

Noken adalah nama khas Papua untuk tas tradisional yang dianyam dari pintalan serat kulit kayu.  Noken telah diberi status sebagai Warisan Kebudayaan Dunia oleh UNESCO pada tahun 2012. 

Pemilu dengan sistem noken mulai dikenal khalayak ramai ketika Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dalam keputusannya atas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua, No. 47-48/PHPU.A-VI/2009 terhadap Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Kabupaten Yahukimo, mengakui sistem noken sebagai cara yang sah dalam Pemilu. 

Bagi kebanyakan orang, Pemilu sistem noken sering dianggap sebagai Pemilu di mana kotak suara diganti dengan tas noken.  Itulah yang tampak dari Keputusan KPU Provinsi Papua Nomor 01/Kpts/KPU Prov.030/2013.  Nama Keputusan itu adalah “Petunjuk Teknis Tata Cara Pemungutan Suara Dengan Menggunakan Noken Sebagai Pengganti Kotak Suara”.  Yang sangat jarang diketahui adalah bahwa keputusan itu juga membolehkan Kepala Suku untuk memasukkan surat suara yang dimiliki oleh warganya ke noken tertentu.  Bahkan keputusan itu juga membolehkan pencoblosan surat suara tidak dilakukan oleh pemilih atau kepala suku, tetapi oleh petugas KPPS. 

Situasi ini menjadi semakin runyam karena Pemilu sistem noken di Provinsi Papua diwarnai dengan penggelembungan jumlah pemilih secara massif. Lihat data-data berikut ini: DPT (Daftar Pemilih Tetap) Pilkada tahun 2017 di Kabupaten Intan Jaya adalah 79.337 orang, sementara jumlah penduduk (termasuk mereka yang belum cukup umur untuk memilih), menurut BPS RI, hanya 48.318 orang.  Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Puncak Jaya.  Total penduduknya adalah 123.591 jiwa, sementara DPT-nya mencapai 179.144 pemilih.  Di Kabupaten Tolikara, jumlah penduduknya hanya 136.576 orang, tetapi pemilihnya, sesuai DPT, adalah 216.261 jiwa. 

DPT ini berawal dari data penduduk yang konon dikumpulkan dan dicatat oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di setiap kabupaten.  Artinya, data-data itu terbentuk dari catatan yang dibuat secara seksama oleh pemerintah daerah terhadap setiap peristiwa kependudukan seperti kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar, mulai dari tingkat kampung (desa), distrik (kecamatan) sampai di kabupaten.  Dari tingkat kabupaten, data itu dikirim ke provinsi, kemudian berakhir di Ditjen Dukcapil Kemendagri.

Pertanyaannya: benarkah sistem administrasi kependudukan di kabupaten/kota di Papua sudah serapi itu?  Apakah Kemendagri pernah memverifikasi kebenaran data-data kependudukan itu sebelum  meneruskannya ke KPU – misalnya dengan meminta bantuan BPS? Bahkan, mengapa Kemendagri tidak pernah mempersoalkan perbedaan data yang begitu mencolok dan di luar akal sehat antara yang bersumber dari BPS dan Dukcapil?

Masih segar di ingatan kita tentang kekacauan yang terjadi di kabupaten-kabupaten yang disebutkan tadi, yang melaksanakan Pilkada-nya pada tahun 2017 ini.  Ada pembakaran kantor-kantor pemerintah di Intan Jaya.  Perang suku di Puncak Jaya. Pemalangan jalan di Tolikara.  Sumber masalahnya hanya satu: ada kelompok masyarakat yang tidak puas karena keputusan yang diambil – termasuk keputusan oleh MK, atas dasar pemilu sistem noken ini. 

Yang tidak kalah pentingnya, pemilu dengan sistem noken adalah salah satu sebab utama macetnya pelaksanaan pembangunan di hampir semua kabupaten yang menggunakan sistem ini. Ukurannya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di kabupaten-kabupaten tersebut yang luar biasa rendahnya. 

Pilkada sistem noken sama sekali tidak membuat para kepala daerah di Papua untuk bekerja sungguh-sungguh membangun daerahnya, karena lima tahun kemudian mereka akan dengan mudah dipilih kembali dengan cara sejumlah kecil orang mencoblos kertas suara yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah pemilih yang sebenarnya.  Apalagi ketika jumlah perolehan suara fiktif itu dipindahkan ke form-form resmi dan ditandatangani oleh KPU daerah.  Ketika terjadi sengketa di MK, form-form itu menjadi alat bukti yang tidak terbantahkan.

Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H., Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi RI, menulis dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009, bahwa “…Mahkamah dapat memahami dan menghargai nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara dan sistem ‘kesepakatan warga’ atau ‘aklamasi’, karena jika dipaksakan menggunakan tata cara pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dikhawatirkan akan timbul konflik di antara kelompok-kelompok masyarakat setempat. Mahkamah berpendapat agar sebaiknya mereka tidak dilibatkan atau dibawa ke sistem persaingan dan perpecahan di dalam dan antarkelompok yang dapat mengganggu harmoni yang telah mereka hayati selama ini.” 

Apakah para hakim konstitusi yang mulia itu menyadari bahwa akibat keputusan yang dibuatnya, yang dilandaskan pada pemahaman yang dangkal atas kebudayaan di Papua, justru telah menciptakan konflik yang berdarah-darah di setiap pilkada dengan sistem noken?  Apakah para hakim yang mulia itu tahu bahwa pemilu sistem noken adalah pangkal dari gagalnya pembangunan di hampir semua bidang selama ini di Provinsi Papua?  Apakah para hakim itu tidak tahu bahwa di setiap pemilihan dewan paroki di gereja Katolik, atau majelis jemaat di gereja-gereja Protestan, warga sudah terbiasa sejak dahulu menggunakan sistem one-man-one-vote?

Pada tahun 2018 akan berlangsung Pilkada Gubernur dan Bupati di tingkat provinsi dan beberapa kabupaten di Papua.  Tahun 2019 akan berlangsung pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden.  Pemerintah, DPR RI dan KPU harus memutuskan, apakah pemilu sistem noken – yang sesungguhnya menunjukkan secara terang benderang kegagalan Pemerintah menyelenggarakan pembangunan di Papua, masih akan dipakai? 

Terkait dengan kekacauan data penduduk dan pemilih, sebenarnya Pemilu masih bisa dilaksanakan di Papua dengan benar.  Ini syarat-syaratnya: (1) TPS, tempat pemungutan suara, bagi penduduk harus secara fisik benar-benar ada dan didokumentasikan;  (2) Setiap penduduk yang berhak memilih harus membawa/diberikan hanya satu kertas suara.  Kertas-kertas suara itulah yang kemudian dimasukkan ke noken dan diproses lebih lanjut;
(3) Semua kertas suara sisa, alias yang tidak digunakan, yang jumlahnya sangat banyak itu, harus langsung dimusnahkan dan dibuat berita acaranya;  (4) Masyarakat diwajibkan untuk mencoblos tanda gambar.  Mana ada manusia di dunia ini yang tidak bisa mencoblos?!  Atau, kalau memang mereka harus bermusyawarah – sebagaimana yang diatur dalam putusan MK itu, jumlah suara yang dimusyawarahkan itu harus sama dengan jumlah penduduk yang datang ke TPS dan diberi kertas suara;  (5) Kalau cara musyawarah yang dipakai, maka berita acara tentang pelakanaan musyawarah itu harus dibuat; bukan dengan mengisi form normal sehingga seolah-olah di TPS itu pemilu berlangsung dengan cara one-man-one-vote.

Akhirnya, Negara harus hadir untuk menegakkan hukum, menjalankan demokrasi, dan melindungi HAM. Pemilu bukan sekedar pesta demokrasi.  Pemilu adalah peristiwa hukum yang menyangkut hidup-mati suatu masyarakat ke depan.  Oleh karena itu Negara, dan setiap aparaturnya, berkewajiban untuk memastikan bahwa Pilkada di Provinsi Papua, termasuk yang di dalamnya berlaku pemilu dengan sistem noken, dilakukan dengan cara yang sama sekali bebas dari manipulasi dan korupsi.  Dengan cara itu, kita tidak perlu kuatir bahwa calon kepala daerah yang memiliki kapasitas, kapabilitas, integritas, serta loyalitas kepada NKRI akan kalah.
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2018 - All Rights Reserved
Created by Nusantara Bicara