Pernyataan mengejutkan keluar dari mulut Gubernur Bank Indonesia (BI)
Perry Warjiyo. Menurutnya sistem ekonomi ribawi diyakini menciptakan
gangguan stabilitas ekonomi, sistem syariah justru bisa diandalkan
menciptakan stabilitas ekonomi.
![]() |
Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui sistem ekonomi ribawi memicu instabilitas ekonomi dan ketidakstabilan, karena itu dia menyarankan agar ekonomi syariah terus diperbesar untuk menjamin stabilitas ekonomi. |
Pernyataan Gubernur BI itu tentu saja agak aneh untuk ukuran ekonomi
ribawi, atau lebih sering disebut sistem kapitalis. Mengapa? Karena
rerata isi kepala Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, serta
menteri-menteri ekonomi lainnya adalah isi kepala umumnya kaum
kapitalis.
Paling tidak tercermin dari kebijakan-kebijakan, rujukan dalam
mengambil kebijakan sampai eksekusi kebijakan menggunakan kerangka fikir
kapitalis. Makanya ucapan Perry Warjiyo itu benar-benar seperti oase di
musim panas.
Perry menyatakan nilai rupiah terus mengalami pelemahan hingga
mencapai Rp14.394 (hari ini malah menyentuh Rp14.600) per dolar AS.
Situasi ini dianggap sebagai akibat dari sistem ekonomi ribawi dan
jawaban untuk situasi seperti ini adalah ekonomi syariah.
“Saya merasa yakin, (gangguan stabilitas) ini juga bagian dari
(sumbangsih) ekonomi riba,” kata Perry dalam acara halal bil halal
dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) di Jakarta, beberapa
waktu lalu.
Gubernur BI mengatakan peningkatan suku bunga acuan “7-Day Reverse
Repo Rate” 50 basis poin (bps) dilakukan untuk mengatasi serangan
spekulasi dari global yang membuat stabilitas nilai tukar rupiah
terganggu.
Lebih lanjut Perry Warjiyo berpendapat, kalau bisa membuat ekonomi
syariah makin maju di Indonesia, mestinya kebutuhan untuk melakukan
intervensi atau menaikkan suku bunga bisa dikurangi.
Perry mengatakan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) harus mampu
menjalankan strategi nasional pengembangan ekonomi keuangan syariah
sebagai arus baru pengembangan ekonomi di Indonesia. Ia juga mengajak
semua pihak untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam perekonomian
syariah.
Ia menyoroti banyaknya negara yang penduduknya bukan mayoritas Islam
namun sudah ekonomi syariahnya lebih maju dari Indonesia, misalnya
Thailand dan Australia lewat industri makanan halalnya.
Langkah yang bisa dilakukan terkait strategi nasional tersebut antara
lain memajukan industri ekonomi halal dalam suatu jejaring yang terus
berkembang, baik melalui basis pesantren atau asosiasi pengusaha.
Gubernur BI juga menyatakan mengenai perlunya pengembangan perbankan
dan keuangan syariah sekaligus instrumen keuangan syariah. Juga
pengembangan riset, edukasi, wirausaha, dan kampanye halal lifestyle di Indonesia
Bahaya ekonomi ribawi
Pada dasarnya riba adalah suatu tambahan nilai atau manfaat yang dari
transaksi hutang-piutang maupun jual beli, yang mana tambahan tersebut
merugikan salah satu pihak dan menguntungkan bagi pihak lainnya.
Berbagai eksploitasi timbul dalam setiap transaksi yang didasarkan
dengan unsur-unsur ribawi. Misal saja dalam riba jahiliyyah, ketika
seorang yang berhutang tidak mampu untuk melunasi tanggungan hutangnya
dengan tepat waktu dan sudah jatuh tempo, maka dia akan dikenakan biaya
tambahan sebagai akibat dari melewati batas waktunya tersebut.
Sudah pasti hal tersebut merupakan aksi kezaliman yang bukan saja amat dibenci manusia, namun juga oleh Allah SWT.
Hukum riba telah disepakati keharamannya oleh Jumhur ulama, baik dari
kalangan mutaqaddimin maupun mutaakkhirin. Larangan riba ditemukan pada
banyak ayat-ayat Qur’an maupun hadits Nabi saw. Pada umumnya, larangan
yang bersumber dari al-Qur’an berupa larangan riba dalam hutang
pihutang, sedangkan dalam hadits maka larangan riba dalam akad jual
beli.
Pada dasarnya dampak buruk ekonomi riba itu cukup berat dan meluas sebagaimana dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, ekonomi riba dapat memicu konflik perpecahan antara
individu dan kelompok. Riba akan merusak rasa solidaritas antara
manusia satu dengan manusia lainnya. Prinsip awal utang piutang yang
pada dasarnya untuk membantu sesama, justru dirusak menjadi cenderung
pada model penindasan antara satu individu terhadap individu lainnya.
Kedua, sistem transaksi ribawi akan menjadikan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin menjadi semakin curam
Bagi golongan elit, transaksi ribawi dipandang sebagai alat untuk
menggandakan kekayaannya dengan praktis. Sebaliknya, bagi kalangan
miskin, riba dirasa sebagai lintah yang terus mereduksi jumlah hartanya
dari waktu ke waktu, mengingat jumlah bunga yang didapat akan terus
meningkat apabila tidak sanggup membayar.
Ketiga, riba pada dasarnya adalah bentuk pemerasan, bahkan
bisa dikatakan sebagai pencurian. Mungkin bentuk pemerasan transaksi
ribawi sendiri tidak dapat dilihat secara langsung, tapi disadari atau
tidak, menerapkan suku bunga berlipat sama saja meminta orang untuk
memberikan hartanya secara cuma-cuma.
Keempat, riba merupakan sumber pemasukan yang sama sekali
tidak adil. Para pemungut riba memfungsikan uangnya untuk dihutangkan
kepada orang lain, agar orang tersebut dapat mengembalikan hutangnya
dengan jumlah yang berlipat dari jumah awal yang dipinjamkannya.
Sebagai manusia, tidak ada yang mengetahui bahkan menjamin bahwasanya
usaha yang dijalankan oleh orang yang berhutang akan mengalami
keberhasilan atau justru menemui kerugian. Dengan mendasarkan transaksi
pada prinsip ribawi, orang sudah memastikan bahwa usaha orang yang
dihutangi pasti untung –padahal semua masih probabilitas.
Kelima, transaksi yang berdasar pada riba akan menimbulkan
mental pemalas. Pihak yang meminjamkan uangnya untuk dibungakan dapat
memperoleh tambahan uang setiap saat, baik dia sedang makan, istirahat,
bersenda gurau, maupun semua aktifitas keseharinannya. Kondisi semacam
ini berimplikasi kepada turunnya kreativitas, mobilitas, dan etos kerja
kreditur karena telah merasa uangnya berlipat ganda pada setiap
waktunya.
Itu sebabnya pemerintah dan BI perlu memperluas penerapan ekonomi
syariah sebagai jawaban atas destabilisasi yang disebabkan oleh ekonomi
riba. Kalau di industri perbankan peran bank-bank syariah masih di
kisaran 5%, peran dan tugas otoritas moneter dan perbankan lah untuk
menggelembungkannya sebesar mungkin agar ekonomi lebih stabil.
Bila perlu, BI menaruh satu orang khusus menjabat sebagai Deputi
Gubernur khusus menangani persoalan syariah. Begitu juga di OJK perlu
ditanam khusus seorang Deputi yang membidangi urusan syariah.
Dari sana kelihatan jelas keberpihakan dan itikad baik BI dan OJK
untuk memaksimalkan dan menggelembungkan ekonomi syariah. Karena ekonomi
syariah telah terbukti lebih stabil, lebih aman dan lebih manusiawi.[]
Posting Komentar