www.nusantarabicara.co

www.nusantarabicara.co
Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia
Home » , , , » Korneles Bokowi Butuh Perhatian Pak Jokowi

Korneles Bokowi Butuh Perhatian Pak Jokowi

Written By Nusantara Bicara on 10 Mar 2019 | Maret 10, 2019

NUBIC, Jakarta — Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Mimika, Provinsi Papua enggan berkomentar terkait pasien rujukan dari RSUD Kabupaten Asmat yang diduga gizi buruk.

Pasien ini kabarnya telah dirawat selama tiga pekan lebih sejak awal Februari lalu. Humas RSUD Mimika, Luky Mahakena di Timika, Selasa mengatakan tidak bisa berkomentar terkait situasi Korneles Bokowi (5) warga Kampung Amaru, Distrik Derkumu, Kabupaten Asmat.
Ia juga mengatakan bahwa telah berkomunikasi dengan dokter yang menjadi asisten dokter anak di RSUD Mimika yang menangani Korneles agar dapat memberikan komentar kepada wartawan, namun dokter bersangkutan enggan untuk berkomentar termasuk menanggapi pemberitaan di salah satu media di Timika terkait Korneles.
Luky tidak menjelaskan alasan dokter tidak bisa memberikan komentar. Ia hanya mengatakan bahwa tidak bisa.
Ayah Korneles, Imanuel Bokowi, membenarkan bahwa anaknya sempat dirawat selama satu bulan di RSUD Asmat dan divonis gizi buruk oleh tim medis RSUD Asmat yang menangani anaknya.
“Selama satu bulan di RSUD Asmat, kondisi anak saya tidak ada perubahan positif malah semakin memburuk. Anak saya yang berat badannya tidak seperti sekarang ini berangsur-angsur turun,” katanya kepada Antara, Selasa (5/3).
Namun dirinya tidak memberikan keterangan secara jelas alasan anaknya dirujuk ke RSUD Mimika. Ia hanya mengetahui bahwa anaknya menderita gizi buruk. “Setelah tiba di RSUD Mimika baru dokter di sini diagnosa kalau anak saya sakit paru-paru. Akhirnya baru pada Rabu (27/2) dilakukan operasi untuk mengeluarkan cairan di paru-paru anak saya,” ujarnya.
Kornelis yang dirawat di bangsal anak RSUD Mimika terlihat begitu kurus. Sementara sebuah perban menempel di bagian rusuk sebelah kiri, bekas operasi. Bahkan, untuk bernapas dengan alat bantu oksigen dan hanya bisa duduk atau berbaring. Imanuel hanya berharap agar anaknya cepat sembuh dan bisa beraktivitas lagi.
Kasus gizi buruk di era rezim Jokowi bukan kali ini saja. Di tengah klaim gencarnya pembangunan infrastruktur Papua, nyatanya kasus gizi buruk bagai mimpi buruk di siang bolong.
Tahun lalu stempel status kejadian luar biasa (KLB) disematkan pada Kabupaten Asmat yang ditandai kematian anak akibat campak dan gizi buruk. Status KLB ini dicabut 5 Februari 2018. Namun, jumlah korban meninggal saat itu mencapai 72 anak-anak, yakni 66 karena campak, dan enam karena gizi buruk.
Nah, pasca-KLB dicabut, masih ada anak-anak yang meninggal dunia akibat gizi buruk. Salah satunya adalah Priskila (5 tahun) yang meninggal pada 4 Maret 2018.
Priskila sebenarnya sudah pulang dan dikembalikan ke keluarga namun kembali kambuh dan sempat dibawa orang tuanya ke RSUD Agats. Oleh dokter dan perawat, Priskila kemudian dirujuk ke RS di Timika.
Namun orang tua korban menolak anaknya dibawa ke Timika. “Hingga akhirnya meninggal keesokan harinya,” kata M. Nokir Sandadua, Plt Direktur RSUD Asmat di Agats, Minggu (11/03/2018).

Selain Priskila satu lagi korban meninggal dunia pasca-KLB dicabut. “Benar ada juga, tepatnya bulan lalu,” kata Kepala Penerangan Kodam Cendrawasih, Kolonel Muhammad Aidi, kepada BBC Indonesia (12/3/2018).
Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR RI menyebut campak dan gizi buruk ini disebabkan karena berbagai faktor. Sebanyak 40 persen disebabkan oleh lingkungan dan perilaku sosial yang berpengaruh pada kesehatan.
“Sosio budaya di sana, kebersihan dan kesehatannya masih rendah. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) masih jauh di bawah rata-rata nasional,” kata Nila.
Salah satu kendala yang dihadapi suku Asmat dan umumnya warga Papua adalah ketersediaan tenaga medis, terutama dokter. Bayangkan saja, dari total 16 puskesmas yang ada, sebagian besar tidak ada dokter.
“Sebagian besar puskesmas tidak ada dokter, cuma mantri dan suster saja,” kata Kolonel Aidi.
Alasannya, rata-rata dokter tidak mau ditempatkan di pedalaman yang tidak ada infrastrukturnya. Untuk itu, sementara dikirim tim kesehatan dari TNI dan Kementerian Kesehatan berdasarkan penugasan.
Infrastruktur transportasi juga menjadi kendala yang signifikan. Menurut Aidi, meski warga sudah punya kesadaran untuk membawa anaknya ke fasilitas kesehatan, namun mereka terhambat tranportasi. (Sumber: Indonesiainside.id) 
“Jaraknya terlalu jauh. Butuh perjalanan lebih dari lima jam dengan menggunakan kapal untuk menjangkau mereka,” kata Aidi. ()
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2018 - All Rights Reserved
Created by Nusantara Bicara