04 October 2020
Oleh : Dahlan Iskan
DUNIA jurnalistik mendapat pencerahan dari Najwa Shihab: wawancara dengan kursi kosong. Yang viralnya bukan main itu.
Itulah contoh wartawan yang terus berjuang di dunia jurnalistik. Apa pun hambatan yang dialami –termasuk sulitnya menghubungi sumber berita.
Itu sekaligus mengingatkan para pejabat publik bahwa mereka tidak bisa menutup diri. Tidak boleh.
Toh wartawan punya banyak cara. Untuk menghadapi pejabat publik yang tidak mau membuka informasi.
Wartawan itu berbeda dengan aktivis bidang hukum. Yang bisa menempuh cara hukum: menggunakan UU Keterbukaan Informasi.
Yang bisa dilakuian wartawan adalah mencari sumber lain. Misalnya kursi kosong itu. Keterangan sumber lain itu, termasuk keterangan kursi kosong, justru bisa merugikan pejabat publik tersebut.
Atau menguntungkannya. Atau biasa saja.
Najwa Shihab punya cara sendiri: mewawancari kursi yang seharusnya diduduki pejabat publik tersebut. Dalam hal ini Menteri Kesehatan Letjen dr Terawan Agus Putranto.
Di situ ada unsur jenakanya. Ada unsur satire-nya. Pun ada unsur protesnya.
Saya suka sekali melihat wartawan yang kreatif dalam berjurnalistik seperti itu. Saya pun mengajukan lima pertanyaan ringan untuk Najwa:
Kapan ide mewawancari kursi kosong itu lahir? Cerita awalnya bagaimana?
Sejak pandemi, saya pernah mewawancarai Pak Jokowi dan saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan spesifik, mengenai potensi mudik memicu penyebaran virus atau tentang kinerja menteri kesehatan, misalnya. Namun presiden tentu bicara kebijakan dalam garis-garis besar karena eksekusi pasti dilakukan dan dikawal para pembantunya. Itulah sebabnya, sejak kasus pertama ditemukan pada awal Maret, berkali-kali saya berusaha terus mengundang Pak Terawan.
Namun, karena Pak Terawan belum merespons, saya berpikir perlunya pendekatan yang dapat menerobos kebekuan informasi mendasar tentang Covid-19. Saya merasa cukup urgent bagi pemerintah menjelaskan langkah-langkah yang sudah, sedang, dan akan diambil secara padu, tidak fragmentaris dan tersebar dari berbagai institusi ad hoc, karena kadang kala pernyataan pejabat-pejabat itu berbeda-beda, dan tidak jarang saling bertabrakan.
Ide menghadirkan kursi kosong itu muncul saat kami berdiskusi secara internal untuk menjawab pertanyaan sederhana: bagaimana mendudukkan perkara penanganan Covid-19 ini pada tempatnya. Kata kuncinya: Duduk perkara. Duduk. Kursi. Jadi, mengajukan pertanyaan di hadapan kursi yang kosong, yang sedianya kursi itu diduduki Pak Terawan, adalah usaha mendudukkan penanganan Covid ini kepada kursinya –artinya kepada proporsinya.
Ada yang mengatakan bahwa mestinya presiden yang duduk di situ, karena presiden adalah tampuk tertinggi eksekutif. Pendapat itu tidak salah, tapi jangan lupa saya pernah mewawancarai Presiden Jokowi. Dan salah satu pertanyaan spesifik saya adalah soal kinerja menteri kesehatan. Saat itu presiden menilai kinerja Pak Terawan bagus-bagus saja. Setelah wawancara itu, presiden dalam salah satu rapat sempat bicara reshuffle, namun tidak ada reshuffle kan? Jadi, saya menilai presiden masih dalam posisi yang sama terkait kinerja menkes.
Pernahkah di luar negeri ada host TV melakukan seperti itu?
Di negara-negara dengan tradisi demokrasi dan debat yang sudah mengakar, menghadirkan bangku kosong sudah kerap terjadi. Tahun lalu saja, seingat saya, Sky News di Amerika dan BBC di Inggris melakukannya. Setelah saya nonton lagi beberapa sample interview yang menghadirkan bangku kosong, saya menangkap kesan bahwa di negara-negara seperti itu, ketidakhadiran para pejabat publik dianggap sebagai sesuatu yang serius.
Jon Snow, jurnalis senior di Inggris, yang lama mengampu program Channel 4 News, pernah menyoroti hal ini dalam sebuah artikel yang menarik beberapa tahun lalu. Ia menutup artikelnya dengan pertanyaan penting: "Should we just lie back and allow the ripples of unavailability to wash over us as we sink into a stupor of not knowing quite what the Government is trying to do, even if they do?”
"Even if they do,” kata Jon Snow, menyiratkan bahwa pemerintah telah melakukan sesuatu adalah satu hal, tapi menjelaskan hal itu dengan padu adalah hal yang sama pentingnya.
Ada yang mengatakan bahwa kinerja pemerintah sudah bagus, "hanya” komunikasinya yang perlu diperbaiki. Menurut saya, di masa pandemi seperti ini, komunikasi itu bukan sekadar "hanya", ia penting, bahkan mendasar. Dalam situasi yang centang perenang, komunikasi yang clear, jernih, dan jelas dari pemilik otoritas sama pentingnya dengan kebijakan dan langkah-langkah konkret itu sendiri.
Apakah Anda tidak takut akan tekanan yang akan datang?
Biar bagaimana pun, Mata Najwa masih menggunakan frekuensi publik (walau tayangan kursi kosong kemarin tidak memakai frekuensi TV, free to air lho ya), sehingga wajar jika ada yang mengkritik. Tidak apa-apa. Saya tidak tersinggung jika ada yang mengkritik kinerja saya sebagai jurnalis dan presenter sebuah program talkshow yang banyak membahas isu-isu publik. Barang siapa yang membahas dan membicarakan isu publik, ia mesti siap diperdebatkan argumentasi dan pilihan-pilihannya.
Kalau pun ada tekanan, yang sekarang bukan hal baru, karena Mata Najwa bukan kali ini saja fokus pada satu isu dan menekankannya secara berkali-kali. Soal PSSI, Setya Novanto, pengistimewaan koruptor, hingga pelemahan KPK, misalnya, Mata Najwa juga sangat jelas posisi dan fokusnya.
Tekanan karena tayangan kursi kosong kemarin masih dalam batas wajar. Ada yang mendukung dan ada yang keberatan, dan ada yang menyampaikan secara langsung. Masih dalam batas kewajaran. Masih bagian dari percakapan menyangkut topik-topik kepublikan. Diskusinya masih cukup sehat, saya kira.
Bahkan saya membaca beberapa kritik (baik positif maupun negatif) dari komunitas akademik ilmu komunikasi. Saya senang ini membuka ruang diskusi tentang jurnalisme. Jurnalisme memang perlu terus didiskusikan. Dunia terus berubah, teknologi berkembang sangat cepat, sehingga pendekatan-pendekatan baru perlu dibuka kemungkinannya agar jurnalisme terus relevan karena ia penting dalam demokrasi.
Apakah acara itu sudah/akan disiarkan TV?
Tidak. Tayangan kursi kosong kemarin itu hanya memakai set Mata Najwa yang biasa dipakai on air di televisi, tapi hasil pengambilan gambarnya tidak ditayangkan di TV, melainkan di kanal media sosial seperti YouTube, Instagram, dll.
Apakah ada respons (dan seperti apa) dari menkes atau kemenkes?
Sampai saat ini belum ada respons. Dan kami masih menunggu. (Naskah ini mestinya terbit tiga hari lalu, tertunda karena isu Presiden Trump –Disway 1-2 Oktober). Tentu saya berharap Pak Terawan bersedia hadir di Mata Najwa, namun kalau Pak Terawan maunya di platform atau program lain, juga tidak apa-apa. Sama saja, kok. Yang penting kebutuhan publik akan penjelasan yang padu dan transparan bisa terpenuhi.
***
Tentu saya kenal Najwa. Dengan gaya khas memotongnya itu. Beberapa kali saya tampil di Mata Najwa –termasuk bersama Ahok dan Bu Susi.
Tentu juga saya kenal dr Terawan. Begitulah orangnya. Kerja dalam senyap. Tidak mau menanggapi apa pun kontroversi mengenai dirinya.
Begitu pula sikapnya saat masih berpangkat kolonel. Yakni saat Terawan menemukan dan mempraktikkan teknik brain wash dalam mengatasi penyumbatan saluran darah dalam otak.
Waktu itu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempersoalkan dengan serius apa yang dipraktikkan Terawan. Ia dianggap melanggar prinsip kedokteran. Tapi ia tidak mau menanggapinya. Ia pun dipecat oleh IDI.
Begitu ributnya soal brain wash Terawan waktu itu. Sampai-sampai saya sendiri ingin mencobanya. Padahal, waktu itu, saya tidak punya keluhan apa-apa.
Saya pun berbaring di meja operasi. Pangkal paha saya sudah disiapkan untuk disayat. Dokter Terawan memegang pisau. Lalu menyanyikan lagu Ada nama Ibu dalam doaku. Suaranya enak. Nadanya benar. Saya menjadi fokus di lagu itu. Tahu-tahu pangkal paha saya sudah tersayat. Tidak terasa.
Begitulah cara Terawan bekerja.
Ia pun memasukkan kateter dari pangkal paha itu. Untuk didorong menuju otak –melalui dada dan leher. Kateter itu memasuki saluran-saluran darah di dalam otak. Saya pun konsentrasi penuh merasakan apa yang terjadi. Tidak terasa apa-apa, kecuali ada sensasi-sensasi dingin pyar-pyar ringan di dalam otak.
Ketika lagu itu selesai dinyanyikan, selesai pula brain wash itu.
Sekitar tiga bulan kemudian saya ajak istri saya melakukan hal yang sama. Konsekuensinya: saya juga harus melakukan sekali lagi. Agar istri saya berani.
Saya tidak menyangka Terawan yang sampai dipecat dari IDI diangkat jadi menteri kesehatan –yang harus membawahkan IDI.
Dan kini Najwa mengangkat Terawan di kursi kosong.
Di negara yang matang demokrasi, wartawan mudah mewawancari pejabat publik. Yang sulit adalah mendapat jawaban. Wartawan harus adu pintar dengan mereka. Pejabat juga harus adu pintar dengan wartawan.
Di Indonesia wartawan sulit menemui pejabat publik. Apalagi dulu. Tapi, sekali bisa bertemu, ceritanya banyak. Apa saja diceritakan, termasuk yang mestinya rahasia. Di sini pejabat itu mudah terpancing –yang memang, wartawan sering menggunakan teknik memancing. (Dahlan Iskan)
Oleh : Dahlan Iskan
DUNIA jurnalistik mendapat pencerahan dari Najwa Shihab: wawancara dengan kursi kosong. Yang viralnya bukan main itu.
Itulah contoh wartawan yang terus berjuang di dunia jurnalistik. Apa pun hambatan yang dialami –termasuk sulitnya menghubungi sumber berita.
Itu sekaligus mengingatkan para pejabat publik bahwa mereka tidak bisa menutup diri. Tidak boleh.
Toh wartawan punya banyak cara. Untuk menghadapi pejabat publik yang tidak mau membuka informasi.
Wartawan itu berbeda dengan aktivis bidang hukum. Yang bisa menempuh cara hukum: menggunakan UU Keterbukaan Informasi.
Yang bisa dilakuian wartawan adalah mencari sumber lain. Misalnya kursi kosong itu. Keterangan sumber lain itu, termasuk keterangan kursi kosong, justru bisa merugikan pejabat publik tersebut.
Atau menguntungkannya. Atau biasa saja.
Najwa Shihab punya cara sendiri: mewawancari kursi yang seharusnya diduduki pejabat publik tersebut. Dalam hal ini Menteri Kesehatan Letjen dr Terawan Agus Putranto.
Di situ ada unsur jenakanya. Ada unsur satire-nya. Pun ada unsur protesnya.
Saya suka sekali melihat wartawan yang kreatif dalam berjurnalistik seperti itu. Saya pun mengajukan lima pertanyaan ringan untuk Najwa:
Kapan ide mewawancari kursi kosong itu lahir? Cerita awalnya bagaimana?
Sejak pandemi, saya pernah mewawancarai Pak Jokowi dan saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan spesifik, mengenai potensi mudik memicu penyebaran virus atau tentang kinerja menteri kesehatan, misalnya. Namun presiden tentu bicara kebijakan dalam garis-garis besar karena eksekusi pasti dilakukan dan dikawal para pembantunya. Itulah sebabnya, sejak kasus pertama ditemukan pada awal Maret, berkali-kali saya berusaha terus mengundang Pak Terawan.
Namun, karena Pak Terawan belum merespons, saya berpikir perlunya pendekatan yang dapat menerobos kebekuan informasi mendasar tentang Covid-19. Saya merasa cukup urgent bagi pemerintah menjelaskan langkah-langkah yang sudah, sedang, dan akan diambil secara padu, tidak fragmentaris dan tersebar dari berbagai institusi ad hoc, karena kadang kala pernyataan pejabat-pejabat itu berbeda-beda, dan tidak jarang saling bertabrakan.
Ide menghadirkan kursi kosong itu muncul saat kami berdiskusi secara internal untuk menjawab pertanyaan sederhana: bagaimana mendudukkan perkara penanganan Covid-19 ini pada tempatnya. Kata kuncinya: Duduk perkara. Duduk. Kursi. Jadi, mengajukan pertanyaan di hadapan kursi yang kosong, yang sedianya kursi itu diduduki Pak Terawan, adalah usaha mendudukkan penanganan Covid ini kepada kursinya –artinya kepada proporsinya.
Ada yang mengatakan bahwa mestinya presiden yang duduk di situ, karena presiden adalah tampuk tertinggi eksekutif. Pendapat itu tidak salah, tapi jangan lupa saya pernah mewawancarai Presiden Jokowi. Dan salah satu pertanyaan spesifik saya adalah soal kinerja menteri kesehatan. Saat itu presiden menilai kinerja Pak Terawan bagus-bagus saja. Setelah wawancara itu, presiden dalam salah satu rapat sempat bicara reshuffle, namun tidak ada reshuffle kan? Jadi, saya menilai presiden masih dalam posisi yang sama terkait kinerja menkes.
Pernahkah di luar negeri ada host TV melakukan seperti itu?
Di negara-negara dengan tradisi demokrasi dan debat yang sudah mengakar, menghadirkan bangku kosong sudah kerap terjadi. Tahun lalu saja, seingat saya, Sky News di Amerika dan BBC di Inggris melakukannya. Setelah saya nonton lagi beberapa sample interview yang menghadirkan bangku kosong, saya menangkap kesan bahwa di negara-negara seperti itu, ketidakhadiran para pejabat publik dianggap sebagai sesuatu yang serius.
Jon Snow, jurnalis senior di Inggris, yang lama mengampu program Channel 4 News, pernah menyoroti hal ini dalam sebuah artikel yang menarik beberapa tahun lalu. Ia menutup artikelnya dengan pertanyaan penting: "Should we just lie back and allow the ripples of unavailability to wash over us as we sink into a stupor of not knowing quite what the Government is trying to do, even if they do?”
"Even if they do,” kata Jon Snow, menyiratkan bahwa pemerintah telah melakukan sesuatu adalah satu hal, tapi menjelaskan hal itu dengan padu adalah hal yang sama pentingnya.
Ada yang mengatakan bahwa kinerja pemerintah sudah bagus, "hanya” komunikasinya yang perlu diperbaiki. Menurut saya, di masa pandemi seperti ini, komunikasi itu bukan sekadar "hanya", ia penting, bahkan mendasar. Dalam situasi yang centang perenang, komunikasi yang clear, jernih, dan jelas dari pemilik otoritas sama pentingnya dengan kebijakan dan langkah-langkah konkret itu sendiri.
Apakah Anda tidak takut akan tekanan yang akan datang?
Biar bagaimana pun, Mata Najwa masih menggunakan frekuensi publik (walau tayangan kursi kosong kemarin tidak memakai frekuensi TV, free to air lho ya), sehingga wajar jika ada yang mengkritik. Tidak apa-apa. Saya tidak tersinggung jika ada yang mengkritik kinerja saya sebagai jurnalis dan presenter sebuah program talkshow yang banyak membahas isu-isu publik. Barang siapa yang membahas dan membicarakan isu publik, ia mesti siap diperdebatkan argumentasi dan pilihan-pilihannya.
Kalau pun ada tekanan, yang sekarang bukan hal baru, karena Mata Najwa bukan kali ini saja fokus pada satu isu dan menekankannya secara berkali-kali. Soal PSSI, Setya Novanto, pengistimewaan koruptor, hingga pelemahan KPK, misalnya, Mata Najwa juga sangat jelas posisi dan fokusnya.
Tekanan karena tayangan kursi kosong kemarin masih dalam batas wajar. Ada yang mendukung dan ada yang keberatan, dan ada yang menyampaikan secara langsung. Masih dalam batas kewajaran. Masih bagian dari percakapan menyangkut topik-topik kepublikan. Diskusinya masih cukup sehat, saya kira.
Bahkan saya membaca beberapa kritik (baik positif maupun negatif) dari komunitas akademik ilmu komunikasi. Saya senang ini membuka ruang diskusi tentang jurnalisme. Jurnalisme memang perlu terus didiskusikan. Dunia terus berubah, teknologi berkembang sangat cepat, sehingga pendekatan-pendekatan baru perlu dibuka kemungkinannya agar jurnalisme terus relevan karena ia penting dalam demokrasi.
Apakah acara itu sudah/akan disiarkan TV?
Tidak. Tayangan kursi kosong kemarin itu hanya memakai set Mata Najwa yang biasa dipakai on air di televisi, tapi hasil pengambilan gambarnya tidak ditayangkan di TV, melainkan di kanal media sosial seperti YouTube, Instagram, dll.
Apakah ada respons (dan seperti apa) dari menkes atau kemenkes?
Sampai saat ini belum ada respons. Dan kami masih menunggu. (Naskah ini mestinya terbit tiga hari lalu, tertunda karena isu Presiden Trump –Disway 1-2 Oktober). Tentu saya berharap Pak Terawan bersedia hadir di Mata Najwa, namun kalau Pak Terawan maunya di platform atau program lain, juga tidak apa-apa. Sama saja, kok. Yang penting kebutuhan publik akan penjelasan yang padu dan transparan bisa terpenuhi.
***
Tentu saya kenal Najwa. Dengan gaya khas memotongnya itu. Beberapa kali saya tampil di Mata Najwa –termasuk bersama Ahok dan Bu Susi.
Tentu juga saya kenal dr Terawan. Begitulah orangnya. Kerja dalam senyap. Tidak mau menanggapi apa pun kontroversi mengenai dirinya.
Begitu pula sikapnya saat masih berpangkat kolonel. Yakni saat Terawan menemukan dan mempraktikkan teknik brain wash dalam mengatasi penyumbatan saluran darah dalam otak.
Waktu itu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempersoalkan dengan serius apa yang dipraktikkan Terawan. Ia dianggap melanggar prinsip kedokteran. Tapi ia tidak mau menanggapinya. Ia pun dipecat oleh IDI.
Begitu ributnya soal brain wash Terawan waktu itu. Sampai-sampai saya sendiri ingin mencobanya. Padahal, waktu itu, saya tidak punya keluhan apa-apa.
Saya pun berbaring di meja operasi. Pangkal paha saya sudah disiapkan untuk disayat. Dokter Terawan memegang pisau. Lalu menyanyikan lagu Ada nama Ibu dalam doaku. Suaranya enak. Nadanya benar. Saya menjadi fokus di lagu itu. Tahu-tahu pangkal paha saya sudah tersayat. Tidak terasa.
Begitulah cara Terawan bekerja.
Ia pun memasukkan kateter dari pangkal paha itu. Untuk didorong menuju otak –melalui dada dan leher. Kateter itu memasuki saluran-saluran darah di dalam otak. Saya pun konsentrasi penuh merasakan apa yang terjadi. Tidak terasa apa-apa, kecuali ada sensasi-sensasi dingin pyar-pyar ringan di dalam otak.
Ketika lagu itu selesai dinyanyikan, selesai pula brain wash itu.
Sekitar tiga bulan kemudian saya ajak istri saya melakukan hal yang sama. Konsekuensinya: saya juga harus melakukan sekali lagi. Agar istri saya berani.
Saya tidak menyangka Terawan yang sampai dipecat dari IDI diangkat jadi menteri kesehatan –yang harus membawahkan IDI.
Dan kini Najwa mengangkat Terawan di kursi kosong.
Di negara yang matang demokrasi, wartawan mudah mewawancari pejabat publik. Yang sulit adalah mendapat jawaban. Wartawan harus adu pintar dengan mereka. Pejabat juga harus adu pintar dengan wartawan.
Di Indonesia wartawan sulit menemui pejabat publik. Apalagi dulu. Tapi, sekali bisa bertemu, ceritanya banyak. Apa saja diceritakan, termasuk yang mestinya rahasia. Di sini pejabat itu mudah terpancing –yang memang, wartawan sering menggunakan teknik memancing. (Dahlan Iskan)
Posting Komentar