Oleh :
Kolonel Sus Yuto Nugroho
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Peringatan diambil dari tanggal lahir sosok yang berjasa dalam bidang pendidikan, yaitu Ki Hajar Dewantara. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pertama ini bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, putra Pangeran Soerjaningrat dari Pura Pakualaman.
*Gagasan Persemakmuran Noto Soeroto*
Selain dari keluarga Soerjaningrat, keluarga lain dari Pakualaman yang aktif di pergerakan kebangsaan adalah Raden Mas Noto Soeroto, putra Pangeran Notodiredjo. Noto Soeroto menginjakkan kaki di Negeri Belanda tahun 1906. Ia aktif menulis di beberapa harian seperti Nieuwe Rotterdamche Courant, Bandera Walanda dan Indische Gids.
Di harian Nieuwe Rotterdamche Courant, Noto Soeroto menulis artikel tentang keikutsertaan orang Jawa dalam mempertahankan Pulau Jawa. Menurutnya, orang tak perlu meragukan keandalan orang Jawa. Artikelnya ia praktekkan dalam kehidupannya. Pada tahun 1912, Noto Soeroto mengikuti wajib militer Belanda, masuk dalam pasukan berkuda (Huzaren).
Tak hanya itu, nama Noto Soeroto juga dikenal sebagai penyair. Bukunya yang berjudul Melatiknoppen memuat 24 sajak karangannya. Dan masih banyak sajaknya yang di muat di surat kabar de Indier.
Baik Soewardi maupun Noto Soeroto adalah aristokrat Pakualaman yang terdidik dan mempunyai kemampuan berbahasa Belanda dengan sempurna, baik lisan maupun tulisan. Keduanya juga pernah tinggal di Belanda dan menjadi wartawan.
Di samping persamaan, tentu saja ada perbedaan. Namun yang paling mencolok adalah perbedaan pandangan politik keduanya. Kalau Soewardi mendapat gelar Pahlawan Nasional dan tanggal lahirnya 2 Mei 1889 diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, maka Noto Soeroto, yang lahir pada tahun 1888, namanya tidak harum di lembaran Sejarah Indonesia, bahkan dilupakan orang.
Soewardi menjadi Pahlawan Nasional berkat perjuangan dan gagasannya untuk memerdekakan Indonesia. Sementara Noto Soeroto berpendapat lain, Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia kala itu) tidak perlu cepat-cepat merdeka.
Cucu Pakualam V ini menyampaikan gagasan persemakmuran sebagai pemersatu antara Belanda dan Indonesia. Menurutnya Indonesia memang akan merdeka, tetapi dalam persatuan dengan Belanda. Dalam pertemuan yang digelar berkenaan dengan peringatan ulang tahun kelima Perhimpunan Hindia, Noto Soeroto menegaskan kembali gagasannya dalam pidato yang berjudul Kesatupaduan Hindia dan Negeri Belanda.
Sangat disayangkan, ketika para pemuda Indonesia sedang giat-giatnya memupuk nasionalisme, sepupu Soewardi ini justru ingin melanggengkan ikatan antara Belanda dan Indonesia. Ketua Perhimpunan Hindia ini mengkhawatirkan, apabila Belanda dan Indonesia berpisah, apa yang akan terjadi dengan Indonesia.
Gagasan Rijkseenheid yang dicetuskan Noto Soeroto mendapat kecaman keras dari para aktivis kemerdekaan Indonesia. Salah satunya dari Douwes Dekker. Ia mengatakan Noto Soeroto berkali-kali lebih Belanda daripada orang Belanda sendiri, dan bukan orang Jawa.
Karena pandangan politiknya yang melenceng dari jiwa dan semangat kebangsaan, penganjur kerja sama yang erat antara Indonesia dengan Belanda ini tersingkir dari deretan aktivis kemerdekaan, khususnya para pelajar Indonesia di Belanda.
Sejatinya tidak hanya Noto Soeroto sendiri yang nyaman berhubungan dengan Belanda. Banyak pemuda Indonesia yang belajar dan tinggal di negeri Belanda, diterima oleh masyarakat Belanda dan merasa telah menjadi orang Belanda. Mereka sudah tidak ingat, bahwa negeri mereka yang bernama Indonesia, dijajah oleh Belanda. Mereka justru menginginkan tetap tinggal dalam ikatan dengan Kerajaan Dinasti Oranye dalam waktu yang lama.
Setelah 25 tahun menetap, pada tahun 1932 Noto Soeroto angkat kaki dari Belanda meninggalkan anak dan istrinya. Ia sangat kecewa dan rindu kampung halamannya. Di tanah airnya, si penulis buku Melatiknoppen ini pun bernasib sama, tersingkir. Indonesia terus bergerak menuju kemerdekaan, meninggalkan gagasan Noto Soeroto.
*Cita-cita Luhur Ki Hajar Dewantara*
Pandangan politik Noto Soeroto beda dengan Soewardi. Soewardi anti Belanda. Gerak perjuangan cucu Pakualam III ini sering membuat gerah Pemerintah Hindia Belanda. Di tahun 1913 misalnya, Soewardi menulis artikel kontroversial yang berjudul Als ik eens Nederlander was atau Seandainya Aku Orang Belanda. Tulisan Soewardi yang dimuat di harian De Express ini isinya mengkritik keras pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang melakukan pungutan untuk perayaan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Indonesia. Sangat ironis, perayaan kemerdekaan diselenggarakan oleh penjajah di negeri yang dijajah.
Karena tulisannya yang provokatif itu, Soewardi ditangkap dan dibuang ke Bangka. Namun atas permintaan sendiri, Soewardi meminta supaya diasingkan ke Belanda. Permintaan Soewardi dikabulkan. Bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi dikapalkan ke Den Haag. Soewardi hidup di pengasingan 6 tahun lamanya.
Selama di tanah pembuangan, selain menjadi redaktur majalah Hindia Poetra, embrio majalah Indonesia Merdeka, Soewardi berkesempatan memperdalam ilmu tentang pendidikan dan pengajaran, hingga berhasil mendapatkan ijasah guru. Ia juga terlibat dalam diskusi di Konggres Pendidikan Kolonial dan mengusulkan pendidikan nasional bagi masyarakat Indonesia.
Sepulang dari pengasingan, aktivitas politik Soewardi disalurkan melalui National Indische Partij, dimana ia menjadi sekretaris kemudian menjabat ketua. Soewardi juga meneruskan profesinya sebagai wartawan dan menulis untuk harian De Express, mingguan De Beweging dan Persatuan Hindia. Lagi-lagi tulisannya kerap mengkritik kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Soewardi ditangkap dan dipenjara. Ia mendapat hukuman kerja paksa.
Namun semenjak National Indische Partij dibubarkan, Soewardi merubah cara berjuang. Soewardi tidak aktif berpolitik lagi, tetapi mencurahkan perhatiannya di dunia pendidikan. Perjuangan untuk memerdekakan bangsanya, diwujudkan dengan mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922.
Cita-cita luhur pendirian Perguruan Nasional Taman Siswa tersirat dalam tujuannya, yaitu memberikan kesempatan dan hak pendidikan yang sama bagi masyarakat, seperti yang dimiliki para priyayi atau orang-orang Belanda. Hebatnya, Taman Siswa menolak bantuan keuangan dari Pemerintah Hindia Belanda. Di usia 40 tahun, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menanggalkan gelar dan mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.(*)
Posting Komentar