Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia

Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia
Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh. Itulah Motto Media Kami
Home » , » Siklus 7 Abad Menuju Babak Baru Abad ke-21 Masa Kejayaan Kembali Bangsa Nusantara

Siklus 7 Abad Menuju Babak Baru Abad ke-21 Masa Kejayaan Kembali Bangsa Nusantara

Written By Nusantara Bicara on 19 Agu 2021 | Agustus 19, 2021

 


Oleh : Jacob Ereste 


Seingat saya, WS. Rendra sudah sejak lama mengarakan bahws kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri. Agaknya, itulah narasi yang menunjuk agar segenal warga bangsa Indonesia kembali pada jati diri yang otentik dan mengakar salam budaya warisan para leluhur. Meski tetap harus dikreasikan untuk menghadapi tuntutan maupun tantangan jaman.

Mas Habib Khirzin pun, seingat saya sudah pula memaparkan ikhwal momentum penceragan dan pergerakan peradaban --meski  tak implisit menerasikan nilai-nilai spiritual --karena Profesor yang sandat saya kagumi ini-- memang memiliki pramasastra yang kuat menyatu dengan cakrawala pandang keagamaannya yang maha luas.

Dimensi spiritual penyair dan dramawan WS. Rendra, misalnya yang bergelar Si Burung Merak itu juga menyadari bahwa bukan maut yang menggetarkan hati, tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya dan fitrahnya. Hingga akhirnya penyair yang terkenal dengan karya-karya pamlet pembangunan dalam puisi ini pun berujar, kesadaran adalah matahari.

Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala, dan

Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.


Chairil Anwar, penyair yang dikagumi oleh WS. Rendra ini pun, melantunkan cintanya kepada Tuhan, seperti rasa kangen penyair sufi Jalaluddin Rumi. Dalam puisi "Do'a" jika tak keliru  Chairil Anwar mendedahkan pengakuannya saat menyapa Tuhan dalam nada yang lirisnya yang khas.

Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namamu/ Biar susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh/

Tuhanku/ Cahaya Mu panas suci/Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi.

Tuhanku/ Aku hilang bentuk remuk.

Tuhanku/ Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku/ Di pintu Mu aku bisa mengetuk/Aku tidak bisa berpaling.

Tak kalah dakhsyat torehan pena Buya Hamka. Ulama besar yang ugahari ini padat dan sarat memuat nilai-nilai spiritual yang sangat luar biasa untuk jadi renungan diantara suasana yang penat guna mengisi hati yang kosong akibat guncangan revolusi industri babak keempat pada era milineal hari ini.

Kata Buya Hamka, cinta itu adalah peperangan, yakni perang yang hebat dalam rohani setiap manusia. Jika ia menang, maka ia akan mendapatkan ketulusan yang ikhlas, luas pikiran, sabar dan tenang hatinya. Namun bila kalah, maka yang akan dia temukan adalah orang yang putus asa, sesat, lemah juwa dan hatinya, kecil perasaan dan bahkan terkadang hilang keyakinan dan kepercayaan dirinya.

Dalam tampilan corak dab warna yang lain,  agak beda pesan-pesan spiritual Raden Ngabehi Rangga Warsito, seorang pujangga Jawa yang hidup di lingkungan Kasunanan Surakarta. Pujangga besar terakhir dari tanah Jawa ini, memiliki

kemampuan linuih  meramalkan apa yang akan terjadi di hari kemudian. Kecuali itu, dia pun meyakinkan akan muncul seorang pemimpin yang bersenjata dzikir. 

Joyoboyo bersama Ronggo Warsito sudah memaparkan  ramalan mereka akan ada jaman kalabendu. Artinya jaman yang penuh kesengsaraan. Karena fitnah akan menebar dimana-mana. Keluarga terpecah belah. Kehidupan menjadi sangat susah. Kolusi, korupsi dan nepotisme merajalela. Tentu saja bukan hanya di Solo, tapi juga di seluruh penjuru jagat nusantara ini. Cilakanya, para pemimpin hilang kewibawaannya. Zaman kalabendu terjadi, lantaran manusia menjadi sangat rakus. Serakah. Mempunya hati yang gampang panas, karena terbakar oleh nafsu angkara murka. Bahkan manusia (Indonesia) hanya berpikir sebatas untuk menjadi cepat kaya. Maka itu korupsi merajalela. Karena pertahanan budaya yang mengakar dalam spuritualitas tercerabut oleh kapitalisme yang telah berubah menjadi hantu berjuluk neolib.

Itulah akibatnya, karena berlomba ingin cepat kaya agar hidupnya bergelimangan harta dan kayaan sekedar untuk bermewah-mewahan, meski dampak buruknya bisa harus merugikan orang lain.

Selain itu, banyak pula seorang  bapak yang lupa pada anaknya. Sementara dang anak banya yang  melawan kepada orang tuanya. Adajug saudara yang tega  melawan saudara sendiri. Entah dalam politik, sengketa ekonomi  bahkan untuk hal yang sepele. Bahkan dalam keluarga ada yang tega untuk mencederai yang lain. Yang tidak kalah tragis adalah banyak murid yang berani atau bahkan menganiaya sang guru.

Jadi memang suasana kekacauan dalam semua taranan nasyarakat sudah hancur. Tak ada lagi unggah ungguh untuk mematuhi adat sopan ssntun dalam tata pergaulan serta interaksi tergadap pihak lain. Karena itu, tata hubungan yang harmoni dengan alam dan lingkungan pun ikut terabaikan, bahkan cenderung merusak hanya untuk memuaskan birahi sendiri.

Meski begitu, menurut Ronggo Warsito, zaman yang penuh penderitaan itu akan segera sirna. Masalah, ramalan terhadap sirnanya kekacauan tradisi, budaya serta tatanan adat istiadat warisan dari para leluhur kita itu -- yang nota bene cukup arif dan bijaksana itu -- seperti tenggelam dalam arus global budaya modern dengan segenap dampak bawaan yang melanda seluruh jagat, termasuk jagat batin yang bersemayam dalam jiwa yang mewadahi moral, etika dan mental yang terbungkus oleh akhlak.

Menurut versi budayawan Jawa, KP Norman Hadinegoro,  makna yang terkandung di dalam ramalan Ronggowarsito, atas izin Allah SWT, zaman kalabendu akan hilang, segera berganti oleh  zaman baru,  dimana tanah Jawa (Indonesia) menjadi makmur. Kutukan terhadao bumi pun hilang. Dan angkara murka pun jemudian mereda.

Dalam versi GMRI, itu semua akan segera maujud ketika gerakan kebangkitan kesadaran spiritual bangsa Indonesia terjadi. Perubahan menuju pemulihan dan pembenagan hingga perbaikan pada segenap aspek hidup dan kehidupan mulai berproses mengikuti ritme siklus bumi, siklus waktu dan siklus jaman. Sebab kesasaran spiritual itu juga harus beranjak dari kesadaran pemahaman terhadap perubahan jaman, kata Eko Sriyanto Galgendu. Maka itu dalam gerakan kebangkitan kesadaran spiritual bangsa Indonesia meliputi napak tilas jaman Tarumanegara dan  Sriwijaya hingga Majapahit yang pernah berjaya, kemudian runtuh sampai memasuki  awal dari siklus 7  (tujuh) abad pada babak ketiga sekarang ini (abad 21) yang diyakini olah banyak futurolog akan segera memasuki babak baru.

Setidaknya siklus 7 (tujuh) yang telah menandai pasang surut dari kejayaan bangsa nusantara kini sudah memasuki babak ketiga yang ditandai beragam fenomena yang meyakinkan untuk itu, seperti yang memompa semangat GMRI melakukan gerakan kebangkitan kesasaran segenap warga bangsa Indonesia untuk tampil menjadi obor penerang jagat raya ini. Begitulah bangsa dan negara Indonesia harus optimis bisa menjadi mercu suar dunia mulai dari Timur hinggs ke Barat. Amin !



Banten, 19 Agustus 2021

Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2018 - All Rights Reserved
Created by Nusantara Bicara