Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia

Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia
Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh. Itulah Motto Media Kami
Home » » Faisal Basri: Saatnya Kejujuran yang Memimpin Bangsa Ini

Faisal Basri: Saatnya Kejujuran yang Memimpin Bangsa Ini

Written By Nusantara Bicara on 13 Feb 2024 | Februari 13, 2024

Nusantara Bicara,   Jakarta   —   Aktivis masyarakat sipil, organisasi pemuda dan mahasiswa melakukan tirakatan di Komunitas Utan Kayu (KUK), Jakarta, semalam (Senin, 12/2). Terbilang tinggal dua hari lagi Pemilihan Umum 2024, dan mereka menyerukan agar warga menggagalkan upaya Presiden Joko Widodo menyandera demokrasi. Tajuk acaranya Malam Tirakatan untuk Kejujuran dan Keadilan.

Ekonom Faisal Basri mengutip lagu Franky Sahilatua yang dibawakan dalam kampanye jangan pilih politikus busuk tahun 2008, “saatnya kejujuran yang memimpin bangsa ini.” Dalam Pemilu 2024 dua hal absen: jujur dan adil. Yang dituding adalah Presiden Joko Widodo.

“Kami geram kepada Presiden Jokowi, karena telah mendukung Prabowo Subianto, karena Jokowi telah mendukung pelanggar HAM. Jokowi meneguhkan politik impunitas, lebih jauh lagi Jokowi ingin melanjutkan kekuasaanya melalui keluarganya,” kata mantan Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik Petrus Hariyanto. Rekan Petrus, Budiman Sudjatmiko, saat ini mendukung Prabowo Subianto.

Dosen dari Universitas Negeri Jakarta, juga aktivis 1998, Ubedilah Badrun, yang memberikan orasi di malam tirakatan, melihat bahwa tindakan Presiden, bukan hanya merusak demokrasi, tetapi mendegradasi moral generasi kaum muda.

“Apa terjadi dalam proses pemilu adalah bahwa Joko Widodo telah merusak moral generasi dengan melanggengkan nepotisme secara telanjang dipublik. Dan ini adalah bentuk demoralisasi pada generasi kaum muda. Saya yakin generasi z nanti akan melakukan perlawanan,” kata Ubed.

Peneliti politik Universitas Paramadina, Arif Susanto, melihat bahwa rakyat sebetulnya malu punya calon presiden pelanggar HAM, dan malu punya calon wakil presiden yang menggendong di kekuasaan bapaknya. “Maka ini adalah sebuah panggilan, mari pada 14 Februari nanti kita hentikan ini.”

Slogan Tolak “BPJS”

Standarkiaa Latief yang pernah ikut mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), bersama mendiang Munir, mengenalkan istilah bernada humor, “tolak BPJS” yang merupakan kependekan dari “Bencana Petaka Jokowi Sumbernya.”

“Bagaimana pemilu akan damai kalau tidak ada keadilan. Hakkul yakin itu semua bagian dari manipulasi yang akan melancarkan politik dinasti,” yakin Standarkiaa.

Seorang aktivis Bandung, Acep Jamaludin, yang hadir pada malam tirakatan ikut menyampaikan pendapatnya. Ia pernah ditangkap dalam aksi Reformasi Dikorupsi 2019. “Untuk generasi saya, saya ingin mengingatkan agar jangan pernah mau dibayar untuk menjadi bodoh, jangan pernah tertarik sesuatu yang dianggap lucu, padahal dia sangat ganas,” katanya merujuk cara-cara kampanye Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Henny Supolo, pendiri Yayasan Cahaya Guru mengatakan, “kita yang hadir di sini, tidak bisa membiarkan pemerintah yang tidak layak untuk memimpin kita. Kita yang hadir di sini untuk mengimbangi narasi yang penuh dengan kebohongan, kita yang hadir di sini merupakan ajakan kepada masyarakat untuk menjadi pendidik, yang menjadi contoh satunya pikiran, kata, dan perbuatan untuk anak-anak kita nanti.”

Henny Supolo menutup orasinya dengan pernyataan bahwa malam tirakatan ini adalah usaha secara spritulal, yang bukan saja menggaungkan perlawan tapi juga memenuhi pangillan semesta.

Selain orasi, acara juga diisi oleh talk show yang dipandu Koordinator Malam Tirakatan Alif Iman. Dalam perbincangan yang menyoal nasib demokrasi Indonesia, pelapor HAM Andreas Harsono, mengingatkan bahwa bila Prabowo sampai berkuasa, “kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kesenian, mungkin akan terpengaruh, dan tentu lebih berat buat membawa bagasi seberat Prabowo di dalam diplomasi dalam negeri maupun diplomasi di luar negeri.”

Konsolidasi masyarakat sipil

Mantan Deputi II Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nungroho mengamati bahwa persoalan yang dihadapi sekarang adalah makin menyempitnya ruang untuk gagasan. “Yang makin meluas itu justru konflik kepentingan. Ini terjadi di pemerintah, di masyarakat sipil, dan di media. Yang kita sebut dengan oligarki adalah ketika penguasa dan pengusaha itu jadi satu. Pengusahanya jadi penguasa, pembuat kebijakan, dan kebijakan diatur seenak sendiri. Atau pejabat pembuat keputusan punya usaha.”

Jadi, kalau ada agenda tunggal, menurut Nugroho, adalah “masyarakat sipil berkonsolidasi. Saya bisa bilang, kalau 02 menang, makin habis ruang untuk gagasan, makin besar ruang untuk self serving interest. Kalau Anies atau Ganjar yang menang, ruang gagasan itu mesti kita negosiasikan.”

Bagi dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Neng Darah Afiah, tirakatan malam ini menghimpun energi dan kekuatan untuk suatu tindakan. Ia mengingatkan bahwa calon presiden nomor urut 2 pernah mengatakan dalam suatu wawancara bahwa Indonesia sesungguhnya tidak siap berdemokrasi.

“Kalau kita tidak menyiapkan diri, kalau kita tidak berlatih, maka kita tidak akan pernah siap. Nah, sekarang ini kita dicabik-cabik oleh pemimpin yang semula kita percayai tapi berbalik menjadi munafik dan pembohong. Kita majukan dia karena kita percaya dengan demokrasi. Orang biasa bisa menjadi somebody dalam demokrasi ini, tapi sekarang dia adalah pionir munafik dan pembohong yang tidak boleh kita biarkan. Kalau perlu sekalipun misalnya anaknya menang, kita tidak boleh diam, kita harus melawan. Sekalipun secara legal dia menang, kita tidak boleh diam. Kita bereaksi terus sampai dia berhenti pada apa yang dia lakukan. Karena kita sudah melakukan tirakat seperti malam ini,” kata Neng Dara.

Jokowi penyebab RI stroke

Dalam catatan Faisal Basri, Indonesia mengalami stroke dua kali. Pertama ketika terjadi peristiwa 1965, “menyebabkan pembuluh darah pecah ke otak.” Peristiwa kedua adalah Reformasi 1998, “sel-sel pembuluh darah kian banyak yang rusak yang sebelumnya belum pulih. Stroke biasanya maksimum dua kali.”

Menurut Faisal, sekarang terlihat ada gejala stroke yang dahsyat. Dulu ada yang namanya gagasan, sekarang kepentingan. Bila ada yudikatif, eksekutif, dan legislatif; tapi berat ke eksekutif (executive heavy), dan sekarang presidential heavy. “Penyebab stroke ini tunggal, namanya Jokowi. Masih ada kesempatan sehari lagi buat Jokowi insyaf. Yakni ia memeirntahkan ASN, tentara, polisi, netral, gak ikut-ikut pemilu. Tapi katanya itu mustahil, kalau memang mustahil maka ia wajib dijatuhkan secepat mungkin,” kata Faisal.

Pengajar Filsafat Romo A. Setyo Wibowo mengingatkan bahwa etika dan moral itu di atas peraturan perundang-undangan. “Lihat saja UUD 1945, di situ kita meletakkan landasan etis berupa cita-cita bernegara yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur. Dari cita-cita etis itu dibuat undang-undang dan peraturan ke bawahnya,” terang Romo Setyo.

Ia mengutip penjelasan terkenal dalam filsafat politik yang ditulis Platon, The Republic. “Di buku itu ada subjudul keadilan. Ini adalah spirit dari politik. Memang tidak mudah mencari kompas keadilan ini. Saya ingat seorang Sofis bernama Thrasymakos, musuh debatnya Sokrates yang dengan sinis mengatakan, apa itu keadilan, keadilan hanyalah keuntungan bagi mereka yang lebih kuat. Adil artinya menang. Dan memang di mana-mana, siapa yang menang membuat peraturan, lalu peraturannya itulah yang dianggap adil. Dan saya kira kita berada dalam situasi ini. Sembilan tahun kita semacam dininabobokan. Dihanyutkan oleh sebuah politik yang pragmatis, di mana tolok ukurnya kepentingan-kepentingan dan keberhasilan-keberhasilan yang kasat mata.”

Hadir pula dalam kegiatan ini adalah penulis Ayu Utami, pendiri KUK Goenawan Mohamad, mantan Komisioner Komisi Pemberantasa Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas, pegiat KUK Heru Hendratmoko.

Hadir secara daring adalah guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Sulistyowati Irianto, dan dosen Universitas AIrlangga, Airlangga Pribadi. Acara juga diisi pembacaan puisi oleh Suroso, penari Nudiandra Sarasvati yang merespons tiga puisi Wiji Thukul yang dibacakan dan dinyanyikan rekannya, Nusa Wicastya. Lima lagu yang biasa dibawakan dalam aksi-aksi protes dibawakan oleh paduan suara Gitaku.

Acara ini digelar oleh Komunitas Utan Kayu bekerja sama dengan Gerakan Indonesia Kita (GITA) dan Ikatan Alumni STF Driyarkara (IKAD).(Agus)



Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2018 - All Rights Reserved
Created by Nusantara Bicara