24 Des 2025

Refleksi tentang Penguatan Komitmen Setelah 77 Tahun Hari Bela Negara untuk Kejayaan Indonesia



Oleh: 
Dr. Undrizon, S.H., M.H.

Bela Negara tentunya selalu berorientasi pada perbaikan NKRI menuju tatanan dan kesatuan kehidupan nasional yang lebih baik dalam kebersamaan sebagai bangsa dan negara yang maju, merdeka serta berdaulat. Bahwa Bela Negara secara konstitusional, dan berbagai ketentuan turunan  peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Bela Negara di Indonesia berdasar pada Pasal 27 ayat (3) UUD 1945, bahwa, "setiap warga negara berhak dan wajib ikutserta dalam upaya pembelaan negara" dan diperkuat oleh ketentuan pada Pasal 30 ayat (1) UUD 1945, serta diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, khususnya Pasal 9, yang menyebutkan bela negara diwujudkan melalui pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran, pengabdian sebagai prajurit TNI, dan pengabdian sesuai profesi. Ketentuan ini juga diperkuat oleh Undang Undang tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 68, dan regulasi teknis seperti Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 115 Tahun 2022 tentang Kebijakan Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN), dan lain sebagainya. 

 *Separatisme sebagai Pikiran Dangkal* 

Setelah 77 (tujuh puluh tujuh) tahun semangat bela negara tak pernah padam. Jangan sampai sikap pandang separatisne lagi-lagi berpotensi besar menggerogoti eksistensi NKRI. Maka itu, titik-lemah disintegrasi muncul kembali yang sangat kontraproduktif. Karena itu juga, sinyalemen dan ungkapan itu sebagai ungkapan kekecewaan sekelompok elit serta elemen daerah yang perlu dijawab, direspon, dan disikapi secara bijaksana,  proporsional, tegas, adil serta bertanggungjawab.  

Apalagi trigger isu yang dikembangkan tetap saja berangkat dari hal-hal yang lumrah dan berulangkali. Misalnya tentang kesenjangan perlakuan hidup antara pusat dan daerah, faktor kemiskinan, ketidakadilan dalam aspek keekonomian, akses pemerintahan, rendahnya mutu pelayanan publik dan lain sebagainya.
 
Bela negara mestinya dapat menjadi inspirasi dan   tekad yang kuat dalam memajukan NKRI karena ia dilandasi dengan semangat kejujuran serta kesadaran yang tinggi sebagai bangsa dan sebagai jiwa kepemimpinan yang empatik, efektif dan konstruktif. Semestinya gerakan disintegrasi tidak lagi menjadi alasan bagi suatu elemen bangsa dalam kerangka the bargaining position of politic, vested of interests, tetapi harus berangkat dari aspirasi keadilan dalam skema program mengisi pembangunan nasional yang merata dan berkeadilan dalam arti luas. 

 *Jangan Hanyut Dalam Emosional Situasional* 

Bahwa, Republik ini harus dipertahankan secara lestari atau berkesinambungan. Sehingga negeri inj membutuhkan kreasi terbaik dari para pemimpin yang sadar terhadap cita-cita pendiri negara, amanat konstitusi nasional dan semangat persatuan maupun kesatuan.

Oleh karena itu, dari berbagai kejadian di bumi nusantara, mulai dari Sulawesi, Kalimantan, Sumbar, Sumut, Riau, NTT, Bali, Papua, Maluku, NTB, Poso, Aceh, Lampung, dan lain sebagainya - pernah muncul berbagai letupan-letupan emosional kedaerahan untuk menarik diri dari semangat kesatuan dan persatuan sebagai bangsa dan negara. 

Sehingga fenomena itu, dapat dijadikan sebagai faktor yang menguji kekuatan Ketahanan dan pertahanan fundamental NKRI. Maka itu, di era globalisasi ini, semua elemen bangsa dan negara mestinya konvergensif untuk melahirkan berbagai kebijakan dan keputusan penting nasional agar percepatan pembangunan berbanding lurus dengan aspirasi rakyat. 

Itu sebabnya berbagai rintangan geoekonomi dan geopolitik maupun hambatan domestik yanv merongrong pembangunan nasional harus disikapi dan ditindak tegas, objektif dan berkeadilan. Dan, sekaligus objektivitas diplomasi Indonesia di mata dunia sudah cukup baik sebagai modal interaksi global secara produktif, kondusif dan konstruktif, serta kompetitif. 

Pada Hari Bela Negara, yang dicanangkan setiap tanggal 19 Desember, hendaknya, menjadi faktor pengingat serta early warning system - agar  warna apapun  yang ditampilkan dalam percaturan politik tersebut jangan sampai melupakan semangat Bela Negara. Itu berarti, bahwa bangsa dan negara Republik Indonesia harus senantiasa dapat berdiri kokoh serta bangkit melalui hikmah kebijaksanaan terhadap rangkaian kejadian yang telah dialami oleh bangsa Indonesia dalam perspektif tentang Bela Negara agar tercapainya cita-cita kebangsaan dan kenegaraan yang sesungguhnya.

 *Aspirasi Otonomi Sebagai Penguatan Kebersamaan Untuk Kemajuan NKRI* 

Padahal dewasa ini, daerah telah diberikan posisi yang semakin seimbang melalui skema otonomi dengan ciri desentralisasi dan dekonsentrasi yang menjembatani keinginan rakyat di berbagai pelosok tanah air. Bahkan telah diberikan pula hak-hak keistimewaan, otonomi khusus, dan lain sebagainya. 

Oleh karena itu gerakan disintegrasi adalah bentuk kepicikan semata dari sekelompok elit dan elemen masyarakat dalam melihat kesenjangan posisi daerah tertentu dalam skema kehidupan nasional sebagai bangsa dan negara. Oleh sebab itu, hal-hal yang berpotensi memicu munculnya konflik serta berbagai hambatan untuk menjadi negara yang kuat, maju dan sejahtera dalam kebersamaan sudah semestinya dikedepankan dibanding vested of interests yang sengaja ditumbuh-kembangkan. 

Maka itu, pola pikir bela negara sangat relevan dalam menguatkan semangat anak bangsa dalam menuntaskan masalah pada berbagai kepentingan strategis nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 
Melalui semangat Bela Negara kita dapat meraih mimpi bagi terwujudnya suatu keadaan bangsa yang berperadaban tinggi, sehingga menjadi faktor penguatan produktivitas dan daya saing bangsa di seantero bumi ini.

Dengan konsistensi visi bela negara bagi tiap-tiap warga negara tentunya akan memperkuat Indonesia sebagai bangsa dalam usaha-usaha menata peradaban yang lebih maju. Sebagai negara maju,  tentunya dibutuhkan selain pemahaman tentang inklusivitas kehidupan bangsa dan negara, juga posisi yang saling menghargai, baik yang dianggap minoritas kepada mayoritas, dan begitu sebaliknya. 

 *Perlu Mendorong Usaha Rekonstruksi dan Transformasi Peradaban Nasional* 

Masih segar dalam ingatan bahwa sebagai bangsa,  pernah pula terjadi pertemuan 7 (tujuh) kelembagaan negara pada tanggal 18 Oktober 2010 di Senayan, yang pada intinya membahas mengenai supremasi hukum, penataan ketatanegaraan, otonomi daerah/desentralisasi, pengelolaan sumberdaya alam, dan soal instabilitas bangsa dan negara.

Hal itu, tampaknya sangat kental sebagai suatu visi dan misi serta program strategis terkait dengan bela negara karena dapat dinilai sebagai titik-kulminasi dari rangkaian program konsolidasi dan pemantapan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, merasa perlu dilanjutkan dengan realisasi pertemuan Presiden Republik Indonesia dengan para Gubernur dan Bupati se Indonesia, ketika itu, yang memilih tempat di Sulawesi Selatan, Makasar pada 20 Oktober 2010. Semua itu telah mengisyaratkan, bahwa semakin strategisnya posisi Indonesia terkait upaya dalam mewujudkan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana diamanatkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD  NRI 1945). 

Maka itu juga harus memandang betapa pentingnya melaksanakan suatu upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia di seluruh pelosok nusantara (tanah air), khususnya terkait program pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sehingga KTI betul-betul selaras dalam sikap pandang dan tindakan menurut prinsip wawasan nusantara dalam segenap satu kesatuan wilayah kedaulatan NKRI yang semakin penting posisinya dalam percaturan geoekonomi, geopolitik dan dimensi-dimensi strategis globalisasi. 

KTI mampu berperan secara dinamis dalam menyangga keutuhan nusantara terhadap berbagai potensi instabilitas nasional, sehingga perlu dititik-beratkan perhatian dalam konsepsional tentang pertahanan dan keamanan NKRI untuk kemakmuran bangsa dan negara.

Pemerintah daerah sebagai penyelenggara urusan pemerintah di berbagai daerah, dan eksistensi DPRD menurut azas otonomi dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip kehidupan di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 *Menepis Preseden Buruk  Dalam Perikehidupan di NKRI Melalui Kesadaran Bela Negara* 

Berkali-kali luka-lama terkait konflik vertikal  dan horizontal yang kemudian menawarkan persoalan yang kian kompleks serta pelik di berbagai daerah, dan selanjutnya meninggalkan bekas kegetiran dalam memori kolektif sejarah perjuangan Indonesia hingga merdeka  sejak 17 Agustus 1945, sampai dengan era demokrasi dan globalisasi hingga detik ini. Timbul-tenggelamnya upaya anak bangsa di seluruh nusantara dalam konteks bela negara ini, seakan seirama atau selaras dengan berbagai tantangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hankam di tanah air.

Sebut saja, bahwa ketika terjadi konflik di provinsi Maluku, dan seringkali pula timbul konflik horizontal dan vertikal di tanah Papua, Sulawesi, dan Sumatera. Maka itu, apapun dan bagaimanapun kepentingan yang bermain di sekitar persoalan itu, namun tetap saja yang menjadi kata kuncinya adalah potensi efektif yang memicu gerakan disintegrasi bangsa. 

Maka itu, perlu titik-tumpu kesadaran kebangsaan dan kenegaraan melalui visi bela negara tentunya kondisi instabilitas yang dinamis tersebut dapat didalami, dimengerti, diawasi, dan ditumpas ke akar-akarnya hingga sampai pada batas akhirnya. Sehingga persoalan ini tidak mengundang kembali timbulnya ekses yang kontraproduktif terhadap kepentingan daerah dan nasional yang lebih besar.

Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan segera di Bumi Papua yang kembali terusik oleh berbagai provokasi dari berbagai pihak yang tidak bertanggungjawab. Begitu juga di Aceh sepertinya sikap separatisme meluap seketika Banjir menghantam sejumlah permukiman penduduk.  Mestinya sebagai wilayah yang kaya sumberdaya alam, sumberdaya manusia, - termasuk posisi Papua sebagai jendela ekonomi Indonesia di mata dunia (global), maka itu Papua, begitu juga Maluku dan Sumatera tetaplah menjadi beranda terdepan yang produktif pada posisi daya tahan dalam dinamika geopolitik dunia yang sangat strategis. 

Oleh sebab itu, keutuhan daerah tersebut menjadi modal dasar bagi bangsa dan negara Republik Indonesia, untuk melanjutkan pembangunan dalam usaha mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Keseimbangan antara aspek irasionalitas dan rasionalitas sebagai bangsa Indonesia masih amat diperlukan. Utamanya bagi elemen anak bangsa yang telah dipercaya sebagai pengampu kebijakan dan keputusan penting lainnya yang tengah berada di dalam lingkaran strategis nasional, agar dapat menopang penguatan karakter kebangsaan. Bahwa  kemudian akan berimplikasi pada sikap yang tepat terhadap perbedaan sebagai potensi yang harus dikelola dengan baik untuk ditransformasi menjadi energi positif bagi kebaikan tatanan kehidupan sebagai corak peradaban nasional yang bernilai tinggi, berkualitas serta kompetitif. 

Bangsa Indonesia semestinya sudah meninggalkan primordialisme yang berlebihan, menjalankan ajaran agamanya masing-masing dengan baik dan bertanggungjawab, meningkatkan produktivitas kehidupan masyarakat, adanya kepemimpinan efektif, produktif, dan  konsisten, serta selalu terjaganya amanah sebagai wujud bangsa yang relegius dan berjiwa kebangsaan yang baik dan kemandirian.

Maka itu, segenap komponen masyarakat daerah dan elemen bangsa secara keseluruhan harus merapatkan kesatuan barisan sebagai bangsa dan negara serta bertekad-bulat dalam menghadapi anasir-anasir separatisme. Sehingga terjaganya momentum bagi kelangsungan pembangunan nasional sesuai dengan amanat konstitusi nasional.

Bahwa Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, sejak 17 Agustus 1945. Yang mana kemerdekaan Indonesia itu diperoleh dengan tetesan keringat dan darah para anak bangsa selaku ”pejuang atau patriot bangsa”, sehingga bangsa telah merdeka dari cengkeraman kolonialisasi atau penjajahan.

Maka itu, pasang-surut politik di tanah air harus dapat menghilangkan ’dendam sejarah’. Dendam yang membuat bangsa Indonesia selalu bersikap murka sebagai akibat tekanan penjajahan, dan mengalami kondisi hidup yang memprihatinkan serta berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Sehingga noda hitam sejarah itupun hendak dilanjutkan oleh sebagian anak bangsa yang sudah tidak sabar untuk menunggu adanya perubahan yang signifikan. Menunggu memang terkesan sebagai tindakan yang sangat pasif, dan sepertinya ada permainan dan kepentingan yang terkadang telah melenceng dari konsensus nasional. Maka itu, memungkinkan langkah-langkah kontraproduktif yang berpotensi menyulut timbulnya kembali kekuatan disintegrasi nasional. 

Meskipin sejarah terkadang muncul berulangkali, manakala roda kepemimpinan telah lari dari riilnya tujuan perjuangan. Maka kemudian gerakan yang dibangun oleh pihak-pihak yang anti-integrasi akan terus menjadi preseden yang efektif dalam menghidupkan sikap pandang yang keliru tentang Indonesia. Karena itu, tidak bisa menyalahkan sebagaian elemen masyarakat Indonesia ketika harus mengutuk tindakan-tindakan yang tidak rasional, pemikiran yang dangkal, arrogansi, dan mengesampingkan rasa kebangsaan dengan alasan yang irasional. Namun demikian NKRI harus dibela dan dipertahankan untuk selama-lamanya! 
Masyarakat di berbagai daerah yang mendorong disintegrasi - tidak boleh berfikir sedangkal itu, karena kontribusi rakyat terhadap NKRI selalu berada di front terdepan dalam masa-masa perjuangan mencapai kemerdekaan Republik Indonesia.

Akan tetapi, karena ulah tingkah-laku pihak-pihak tertentu yang membungkus perjuangannya dengan semangat jinggo nasional, terkadang tidak sabar lagi dalam menantikan, ingin segera terwujudnya kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua catatan perjuangan nasional tersebut telah terukir dengan tinta emas (legasi) sejarah perjuangan yang penuh patriotik dan heroik untuk mengapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sekali lagi, jangan sampai fakta sejarah ini dinodai dengan kekeliruan pola pikir dan sikap pandang serta pola tindak tentang Republik Indonesia! Selamat Hari Bela Negara Ke 77 Tahun, Jayalah selalu bangsaku, majulah Indonesiaku.

*) Penulis adalah Praktisi Hiukum, Sekretaris Jenderal, Dewan Pimpinan Pusat - Persatuan Tarbiyah Islamiyah (DPP PERTI). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

PANGKORMAR SILATURAHMI BUDAYA DAN KEBANGSAAN DI KERATON KASEPUHAN CIREBON

Cirebon, Nusantarabicara    --   “Budaya adalah jangkar kebangsaan; ketika tradisi dijaga dan persatuan dirawat, kekuatan bangsa akan berlay...

Postingan Populer