
Biografi Singkat Kartini
Semasa hidupnya dimulai dengan lahirnya Kartini di keluarga priyayi. Kartini yang memiliki nama panjang Raden Adjeng Kartini ini ialah anak perempuan dari seorang patih yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ibu dari Kartini memiliki nama M.A. Ngasirah, istri pertama dari Sosroningrat yang bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara. Silsilah keluarga Kartini dari ayahnya, bisa dilacak terus hingga Sultan Hamengkubuwono IV, dan garis keturunan Sosroningrat sendiri bisa terus ditelusuri hingga pada masa Kerajaan Majapahit.
Semasa hidupnya dimulai dengan lahirnya Kartini di keluarga priyayi. Kartini yang memiliki nama panjang Raden Adjeng Kartini ini ialah anak perempuan dari seorang patih yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ibu dari Kartini memiliki nama M.A. Ngasirah, istri pertama dari Sosroningrat yang bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara. Silsilah keluarga Kartini dari ayahnya, bisa dilacak terus hingga Sultan Hamengkubuwono IV, dan garis keturunan Sosroningrat sendiri bisa terus ditelusuri hingga pada masa Kerajaan Majapahit.
Ayah Kartini sendiri awalnya
hanyalah seorang wedana (sekarang pembantu Bupati) di Mayong. Pada masa itu,
pihak kolonial Belanda mewajibkan siapapun yang menjadi bupati harus memiliki
bangsawan sebagai istrinya, dan karena M.A. Ngasirah bukanlah seorang
bangsawan, ayahnya kemudian menikah lagi dengan Radeng Adjeng Moerjam, wanita
yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura. Pernikahan tersebut juga
langsung mengangkat kedudukan ayah Kartini menjadi bupati, menggantikan ayah
dari R.A. Moerjam, yaitu Tjitrowikromo.

Kartini juga mulai banyak
membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan
Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah
yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat
majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil sering
juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu
majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Melalui
surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca
segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil, dan
tak jarang juga dalam suratnya Kartini menyebut judul sebuah karangan atau
hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca. Sebelum Kartini menginjak
umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis
Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah
pemikiran Van Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de-Jong
Van Beek, dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta
Von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada tanggal 12 November 1903,
Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh orangtuanya. Bupati yang bernama
K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini sebelumnya sudah memiliki
istri, namun ternyata suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan
memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita. Selama pernikahannya,
Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.
Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah melahirkan anak
satu-satunya di usia 25 tahun.
Pemikiran dan Surat-Surat
Kartini
Wafatnya Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya karena salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendanon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911, dan cetakan terakhir ditambahkan sebuah surat “baru” dari Kartini.
Wafatnya Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya karena salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendanon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911, dan cetakan terakhir ditambahkan sebuah surat “baru” dari Kartini.
Pemikiran-pemikiran
Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang
pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda. Baru pada tahun 1922, Balai Pustaka
menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap
Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1938, salah
satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru
menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah
Terang. Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara
berpikir Kartini yang terus berubah. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga
mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah
perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu.
+ komentar + 3 komentar
Mari kita mengenang para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi bangsa ini....
ibu Kartini panutan bagi kaum wanita muda Indonesia
mari kita contoh suri tauladan wanita tangguh indonesia yaitu raden ajeng kartini.
Posting Komentar