Ketika masih kuliah, saya pernah mendengar nama tempat itu itu. Hingga suatu sore saya sempatkan mengunjungi tempat itu. Di sana saya bertemu lelaki paruh baya yang sedang asyik memaku beberapa papan untuk saung baru yang sedang di garapnya. Tempat itu seperti kebun tapi lebih dari sekedar kebun. Di sana ada banyak saung berdiri yang konon tiap pagi dipakai belajar anak-anak.
Lelaki paruh baya itu adalah Suyudi. Anak-anak yang tiap pagi belajar di kebun itu memanggilnya Pak Yudi. Dialah yang menjadi perintis lahirnya sekolah yang berbentuk kebun itu dengan nama Sekolah Alam Bengawan Solo. Ide sekolah yang unik semacam itu terwujud setelah ia bertemu dengan seorang arsitek lulusan perguruan tinggi negeri di kota Solo, Jefri Nur Arifin.
Bersama Jefri, Suyudi mendirikan sebuah sekolah yang unik. Sesuai dengan pemikirannya, sekolah haruslah berpijak dari kearifan lokal dan masalah sekitar. Berbagai problem pendidikan yang dilihatnya, membuat dia merumuskan sebuah sekolah yang memanfaatkan alam sebagai tempat belajar. Diberinya nama Sekolah Alam Bengawan Solo sekaligus untuk menandai bahwa sekolah itu berada di tepi sungai Bengawan Solo.
Di sekolah itu, siswa-siswa tidak belajar seperti di dalam kelas. Mereka lebih banyak beraktivitas di luar kelas. Sistem pembelajarannya pun tidak seperti umumnya. Para fasilitator memanfaatkan wahana di sekitarnya untuk sarana belajar siswa. Tak hanya itu, pada waktu-waktu tertentu, para fasilitator mengajak siswa langsung belajar pada lingkungan seperti pasar, tempat ibadah, kuburan, hingga secara berkala para siswa diajak outing class ke berbagai daerah di luar kawasan sekolah.
Program-program belajar semacam ini dapat terselenggara berkat dukungan orang tua. Jefri, selaku kepala sekolah mendorong terciptanya hubungan yang baik antara orang tua dan sekolah. Melalui komunikasi secara intensif antara fasilitator dan orang tua, diharapkan dapat menyadarkan kembali bahwa orang tualah sebenarnya yang memiliki tanggung jawab dalam mendidik anak.
Lebih jauh lagi, Suyudi memiliki pandangan bahwa semestinya sekolah lebih merasa bertanggung jawab kepada masyarakat di sekitarnya dibandingkan pemerintah. Karena yang akan memanen keberhasilan pendidikan paling awal adalah masyarakat, baru kemudian pemerintah. Jika melihat realita sekarang, pendidikan semata-mata diselenggarakan untuk menyenangkan pemerintah saja. Tanpa sadar, banyaknya pengangguran yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan tidak berpijak pada persoalan nyata masyarakat di sekitarnya. Maka dari itu, bagi Suyudi dan Jefri, peran keluarga dan masyarakat dalam mengontrol sekolah sangat penting agar pendidikan tidak sekedar menjadi proyek pemerintah.
Oleh: Yuli Ardika Prihatama (Blogger, Solo)




Tidak ada komentar:
Posting Komentar