Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima TNI Jenderal TNI
Hadi Tjahjanto melakukan kunjungan bersama ke Papua. Mereka memberi
semangat dan motivasi kepada prajurit TNI dan Polri bertugas di provinsi
tersebut. Selain bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli,
kehadiran dua pemimpin tertinggi TNI dan Polri ini memberi penegasan
kuat tentang pelarangan terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan
simpatisannya untuk memperingati proklamasi negara Papua Barat hari ini
(1/7). Tanggal itu mengacu kepada klaim pendirian negara Papua Baru
oleh Seth Jafet Rumkorem, yang mengaku sebagai Presiden Papua Barat, di
Victoria pada 1 Juli 1971.

Kodam Cendrawasih dan Polda Papua tegas menyatakan akan membubarkan
setiap kegiatan yang bertujuan memperingati proklamasi Papua Barat.
Tetapi, toh, aksi tetap dilakukan meski tanpa turun ke jalan. Sejumlah
aktivis dari Badan Eksekutif Mahasiswa sebuah universitas negeri di
Manokwari Papua bahkan mengadakan ibadah syukuran untuk memperingati
hari itu.
Bahkan di berbagai tempat di Pulau Jawa yang terdapat masyarakat asal Papua juga ada yang menggelar acara serupa.
Kita sudah sejak lama mengingatkan anomali ini: Bagaimana mungkin di
negara ini ada peringatan berdirinya sebuah negara separatis, tanpa ada
penindakan yang tegas dari aparat keamanan.
Mereka sudah secara terbuka menyatakan memisahkan diri dari
Indonesia. Secara terbuka pula mengupayakan dukungan diplomatik melalui
negara-negara tertentu di Asia Pasifik. Pada bulan April 2016 silam,
misalnya terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran di Papua Barat yang
dikoordinasi oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi yang
bertujuan memerdekakan Papua Barat.
Dalam aksi itu mereka mendukung ULMWP untuk diterima sebagai anggota
penuh Melanesian Spearhead Group (MSG). MSG adalah sebuah organisasi
negara-negara Melanesia yang beranggotakan Fiji, Vanuatu, Papua Nugini,
dan Kepulauan Solomon.
Demonstrasi itu juga mendukung Parlemen Internasional untuk Papua
Barat (International Parliamentarians for West Papua, IPWP). IPWP ini
dibentuk oleh aktivis Papua Merdeka dan sejumlah anggota parlemen dari
Inggris, Vanuatu dan Papua Nugini pada tahun 2008.
Mereka juga diam-diam menyerahkan petisi referendum Papua Barat
kepada Komite Dekolonisasi PBB atau Komite 24 di New York, 26 September
tahun lalu, meskipun ditolak. Kelompok ini mengklaim petisinya didukung
1,8 juta tanda tangan atau 70% dari jumlah warga Papua Barat.
Tidak hanya itu, mereka juga secara militer membangun diri. Entah
sudah berapa ratus prajurit TNI dan Polri yang gugur di tangan mereka.
Belum lagi rakyat sipil.
Artinya, ini pemberontakan! Tidak ada kata yang pas selain itu. Toh
pemerintah juga sudah menyebut mereka sebagai Kelompok Kriminal
Separatisme Bersenjata (KKSB). Separatisme padanannya adalah memisahkan
diri dari sebuah negara. Dan bersenjata pula!
Separatisme, bahkan ketika masih berupa niat, bukan perkara kecil
bagi sebuah negara. Apalagi kalau sudah berupa aksi yang
diorganisasikan.
Anehnya, para pengambil keputusan di Jakarta seperti tidak mau
melihat sisi itu. Kita pernah mengingatkan para pengambil keputusan di
negeri ini agar jangan coba-coba mengecilkannya sebagai perbedaan
pendapat belaka yang tak terpisahkan dari demokrasi.
Demokrasi? Sudah terlalu banyak diskusi para ahli pikir tentang makna
kata yang bertuah ini. Bahwa demokrasi adalah hak menyatakan pendapat,
hak menentukan nasib sendiri, hak itu dan hak itu. Sebagai diskusi
ilmiah para empu boleh saja aneka ragam pendapat berhamburan.
Tetapi, para pemimpin negara tidak bisa berpendapat setelanjang itu.
Dan, hanya Tuhan yang tahu, mengapa bangsa ini dipenuhi oleh para
pemimpin yang selalu memperlihatkan kebodohannya menafsirkan demokrasi.
Para pemimpin negara harus memahami demokrasi dalam bingkai
integrasi. Demokrasi harus diletakkan dalam kerangka integrasi bangsa.
Kita boleh menomorsatukan demokrasi sejauh integrasi bangsa tidak
terkoyak. Jika pertaruhannya adalah integrasi, kalau bangsa ini mau
tetap tegak, semestinya harus berkata tidak terhadap apa pun.
Sejak dulu pemerintah sudah paham bahwa gerakan bersenjata di Papua
itu sangat kental dengan aroma separatisme. Bahwa di dalamnya terkait
pula masalah kesenjangan sosial ekonomi, itu hanya untuk memperkuat.
Namun, sekali lagi, akar masalahnya adalah keinginan memisahkan diri
dari NKRI.
Akar masalah itulah yang harus ditumpas. Tidak ada jalan lain
mengatasi separatisme bersenjata kecuali dengan jalan militer. Tetapi
pendekatan ini mesti dilakukan bersamaan dengan pendekatan lain, yakni
pendekatan kesejahteraan. Dilakukan bersamaan artinya dua pendekatan ini
bukan pilihan untuk diterapkan salah satu.
Pendekatan kesejahteraan secara komprehensif sebetulnya sudah
dilakukan. Misalnya, dengan memberikan status Otonomi Khusus bagi Papua.
Dengan status itu, menurut UU No. 35 Tahun 2008, Provinsi Papua diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar
masyarakat Papua.
Tetapi, dalam prakteknya banyak hambatan, terutama terkait
pelaksanaan tugas pemerintahan daerah di Papua. Pemerintah daerah di
semua tingkatan tidak berjalan efektif, sehingga manfaat Otonomi Khusus
tersebut tidak langsung dirasakan oleh masyarakat. Ini terutama
disebabkan perilaku kepala-kepala daerah di Papua yang kerap kali abai
melaksanakan tugasnya.
Mendagri Tjahjo Kumolo pernah mengungkapkan kebiasaan buruk para
kepala daerah di Papua dan Papua Barat yang memilih tinggal di Jakarta
ketimbang berdomisili di daerah mereka pimpin. Kebiasaan buruk ini
mengakibatkan pelaksanaan pembangunan di daerah menjadi terbengkalai.
Kekecewaan terhadap kinerja pemerintah daerah ini memicu kekecewaan
terhadap pemerintah secara keseluruhan. Dari sinilah bisa ditelusuri
akar ketidakpuasan sosial ekonomi warga Papua.
Aspek inilah yang harus segera diatasi oleh Pemerintah Pusat di
Jakarta. Mesti ada upaya yang keras untuk memastikan para kepala daerah
dan pejabat-pejabat di sana untuk bekerja secara maksimal. Upaya
tersebut harus pula disertai mekanisme sanksi yang tegas untuk menindak
kepala daerah yang tetap dengan kebiasaan buruknya itu. Senyampang ada
beberapa kepala daerah baru hasil pilkada serentak kemarin, momentum
memperbaiki kinerja ini harus dimulai.(nusantara.news)
Posting Komentar