Akankah terjadi kegagalan berulang dalam mewujudkan mutu pendidikan
negeri ini? Pertanyaan akan keraguan terhadap kemampuan sistem zonasi
ini adalah hal yang wajar diajukan. Pasalnya, ini bukan kali pertama
upaya pemerintah dalam mewujudkan mutu pendidikan yang upaya sebelumnya
dengan melakukan pergantian sistem kurikulum beberapa kali. Tercatat
terjadi 11 pergantian kurikulum sejak Indonesia merdeka.

Berbeda
dengan kurikulum, sistem zonasi menjadikan standar jarak rumah dengan
sekolah sebagai pertimbangan sekolah menerima siswa baru. Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) dengan cara zonasi ini diharapkan akan mampu
menyingkirkan mainstream sekolah favorit yang selama ini ada dalam benak
masyarakat dan mendorong masing-masing sekolah meningkatkan
kualitasnya.
Mencermati hal di atas, tujuan yang baik ini memang
perlu diapresiasi. Hanya saja, sistem zonasi ini menimbulkan dampak
negatif. Di antaranya terjadi diskriminasi.
Telah diketahui
bersama bahwa sistem zonasi ini bertumpu pada jarak rumah dengan sekolah
maka sudah barang tentu akan terjadi diskriminasi terhadap warga desa
atau pinggiran karena jarak rumah mereka dengan sekolah unggulan yang
dituju amat jauh. Walhasil, hanya anak orang kota saja yang dapat
mengecap pendidikan ini.
Kedua, memicu arus urbanisasi. Lambat
laun arus urbanisasi akan terjadi. Hal ini dikarenakan warga desa yang
merasa didiskriminasi akibat sistem zonasi ini dan ingin berjuang
mendaftar ke sekolah favorit yang diinginkan yang notabene
terletak di kota. Maka akan terjadi arus urbanisasi yang tak terbendung.
Jika sudah demikian, harapan untuk memajukan desa pun akan sulit
terwujud.
Ketiga, menurunnya semangat belajar siswa. Sistem zonasi
yang menafikan adanya Nilai Ujian Nasional atau NUN tidak dipungkiri
akan berdampak pada diri siswa. Kekecewaan siswa yang ditolak masuk
sekolah unggulan hanya karena sistem zonasi akan berakibat fatal pada
semangat belajar siswa. Hal ini lantaran siswa yang tak memiliki NUN
bagus mampu bersekolah di sekolah unggulan lantaran jarak rumah yang
dekat.
Keempat, bertambahnya siswa putus sekolah. Sistem zonasi
yang telah menggugurkan siswa di luar zona tampaknya menimbulkan masalah
yang cukup serius. Apalagi ditambah ketidakmampuan wali murid
menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan swasta lantaran mahal akan
berakibat pada putus sekolah.
Dari dampak-dampak di atas dapat
disimpulkan bahwa sistem zonasi tidak tepat untuk diterapkan. Sedangkan
dari sisi mutu pendidikan, sistem zonasi juga tidak mampu menjamin mutu
pendidikan. Mewujudkan mutu pendidikan harus berbanding lurus dengan
kondisi SDM yang mumpuni, fasilitas sarana dan prasarana yang mendukung,
kurikulum yang tepat dalam mendidik anak berkualitas serta keadaan
sekitar yang mendukung terwujudnya generasi bermutu tinggi. Hal ini tak
bisa diselesaikan dengan sistem zonasi yang terbukti memberi dampak
negatif tadi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan secara
fundamental dan menyeluruh. Pertama, memperbaiki paradigma pendidikan.
Paradigma pendidikan yang masih berdasarkan ideologi sekuler sampai
kapan pun tak akan mampu mencetak generasi yang berkualitas dan bermutu.
Karena dengan sistem ini justru menjauhkan generasi dari mutu
pendidikan itu sendiri yaitu menghasilkan generasi-generasi
materialistik, hedonistik , individualistik dan sekuler.
Kedua,
memperbaiki kondisi pelaksana pendidikan. Tidak dipungkiri bahwa
pelaksana pendidikan telah mengalami kerusakan fungsional yang amat
parah. Kacaunya kurikulum, lemahnya lembaga pendidikan dan tidak
berfungsinya guru sebagaimana mestinya akan mempengaruhi mutu pendidikan
yang berkarakter mulia. Tak sampai di sini, dalam mencetak output
yang bermutu tinggi ini pula kondisi keluarga dan keadaan masyarakat
yang tak kondusif serta media yang merusak sangat mempengaruhi
terwujudnya generasi ini. Maka, perbaikan semua ini tak bisa diindahkan.
Begitu
pula peran negara sebagai penyelenggara pendidikan, yang memiliki
kewajiban dalam menjamin setiap warganya mengenyam pendidikan dengan
mudah. Maka tanggung jawab yang besar ini harus dimiliki pemimpin negeri
ini bukan malah lepas tangan apalagi diserahkan kepada swasta. Sungguh
hal ini telah menyalahi perannya yang hakiki dalam memelihara urusan
rakyat dan nantinya akan dimintai pertanggung jawaban.
Sebagaimana
sabda Nabi SAW “Seorang imam (kepala negara) adalah pemelihara dan
pengatur urusan rakyat, maka dia akan dimintai pertanggung jawaban atas
urusan rakyatnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Penulis: Dian Agustina, S.Pd, Pemerhati Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar