NUBIC, JAKARTA - Pernahkan menonton film Cinta Tapi Beda karya sutradara
Hanung Bramantio dengan Produser Raam Punjabi film, sebuah kisah percintaan
sepasang kekasih yang berbeda kultur dan agama? Dalam film tersebut digambarkan
sepasang kekasih yaitu antara Cahyo dan Diana yang berbeda adat dan agama. Dimana
Cahyo adalah lelaki asal Yogjakarta digambarkan sebagai seorang muslim yang
taat. Sedangkan Diana di gambarkan sebagai seorang gadis minang dengan adat Sumatera
barat namun beragama katolik yang dalam keseharian ber perilaku identitas
sebagai katolik fanatik dengan kalung salib.
Kontan Film ini menuai protes
dari masyarakat minang yang terlanjur menanggung stigma bahwa “Adat Basandikan
Syara, Syara Basandikan Kitabullah” sudah tidak berlaku lagi di Minang kabau
Sumatera barat. Sebuah penyesatan yang menyakitkan hati, tutur orang minang.
Padahal “Adat Basandikan Syara,
Syara Basandikan Kitabullah” adalah sudah final identitas orang minang yang artinya
adat dan budaya orang minang adalah adat dan budaya seorang islam dan
bersendikan Al Qur’an dan ini berlaku bagi orang minang serta terus dijaga dari
nenek moyang sampai ke anak cucu.
Nota protes dan laporan gugatan
pun segera diajukan ke pihak kepolisian dengan No. LP/3511/2013/Dit Reskrim Um
pada Tanggal 7 Januari 2013, untuk mengetahui maksud dari pembuatan film
tersebut. Laporan diajukan oleh Tim Advokasi Minang dan Pembela Masyarakat Adat
Minang yang diketuai oleh H. Zulhendri Hasan SH,MH.
Namun pihak Bareskrim Polri menerbitkan
SP3 dan menghentikan laporan polisi tersebut berdasarkan SP2HP pada tanggal 10
April 2014 dengan alasan bukan merupakan tindak pidana. Akibat dari penghentian
laporan tersebut tidak diketahui kebenarannya, apakah melanggar pidana atau
tidak perbuatan yang telah merugikan masyarakat minang ini karena tidak sampai
dilimpahkan ke pengadilan, pungkas Zul.
Meski kini kasus tersebut berhenti. Tim
Advokasi Minang terus berupaya agar kasus ini dapat dilimpahkan pengadilan,
salah satunya dengan mengajukan Pra peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Pra peradilan ini kita lakukan, salah satunya untuk menjawab kepastian
hukum, ujar Zulhendri Hasan di Pengadilan Jakarta Selatan (4/11).
Karena dalam pandangan kami
sebagai orang hukum. Pada kasus tersebut telah memenuhi 2 unsur sekaligus. Yaitu,
delik 156 unsur menistakan agama dan unsur delik menimbulkan rasa kebencian terhadap
kita orang minang dalam konteks budaya, orang satu unsur saja bisa dihukum kok
dalam kasus penistaan agama seperti dalam kasus Ahok, apalagi ini ada 2 (dua)
unsur. Yaitu, Agama dan Budaya, kan
begitu. Ungkapnya.
Untuk menguji kebenaran itu
harusnya melalui proses persidangan, makanya kita ajukan pra peradilan agar
diketahui kebenarannya. sekaligus menjawab dugaan-dugaan atau angggapan
masyarakat kenapa kasus ini tidak ada kepastian, jangan pula timbul prasangka
negatif kepada kita. Nanti disangkanya kita masuk anginlah oleh masyarakat
minang, pihak kepolisian seharusnya mengakomodir ini agar tercipta kepastian
hukum dan tatanan masyarakat bisa berjalan tertib di kemudian hari, jawab Zul
tegas.(*)
Posting Komentar