www.nusantarabicara.co

www.nusantarabicara.co
Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia
Home » » Suara Pedagang Pasar Pramuka, "Kebijakan Revitalisasi Pasar-Peraturan Yang Tidak Manusiawi"

Suara Pedagang Pasar Pramuka, "Kebijakan Revitalisasi Pasar-Peraturan Yang Tidak Manusiawi"

Written By Nusantara Bicara on 15 Nov 2025 | November 15, 2025



Jakarta, nusantarabicara  — Matahari baru saja memancarkan cahayanya.  Dan para pedagang di pasar obat Pramuka, Jakarta Timur, (12/11/2025), baru saja membuka kiosnya ketika tiba-tiba suasana di sekeliling mereka berubah menjadi gaduh. Siang itu, sekitar puluhan petugas menyegel kios-kios mereka, membuat para pedagang kaget dan berteriak histeris serta memaki-maki para petugas.

Salah satu pedagang, yang bernama Ali menyebut "Kebijakan revitalisasi pasar adalah kebijakan yang tidak manusiawi," ujarnya.

Selalu ada jalan yang terbaik untuk meraih tujuan bersama antara pemerintah dan rakyat, bukan dengan main kasar dan dilakukan secara pihak saja, ungkapnya lagi.

Namun, seperti dikutip dari liputan6.com akibat kebijakan revitalisasi Pasar yang diterapkan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta melalui PD Pasar Jaya membuat suara kehidupan di Pasar Pramuka, pasar obat terbesar di Ibu Kota, tiba-tiba terputus. 

Dua hari terakhir, denyut yang biasanya riuh berubah menjadi nyaris senyap. Lorong-lorong yang dulu penuh langkah buru-buru para pembeli kini hanya menampilkan barisan teralis besi tertutup rapat. Beberapa kios bahkan dipasang stiker segel, tanda bahwa si empunya belum mampu menutup biaya sewa.

Sinar matahari yang masuk dari celah gedung pasar justru menegaskan suasana muram. Dari lantai dasar hingga lantai atas, poster protes menempel di mana-mana: di dinding, di pintu kios, bahkan di anak tangga. Tulisannya tajam, berwarna kontras dengan tembok usang, tuntutan pedagang yang merasa dijepit oleh kebijakan harga sewa baru.

Di tengah hiruk pikuk masalah sewa, penyegelan, dan masa depan yang menggantung, seorang pedagang senior, Jahendri, pemilik toko obat dan alat kesehatan dengan nomor seri AKS 61. 

Kios berukuran 2x2 meter itu telah menjadi sumber nafkah keluarganya sejak 1992.

Artinya, sudah 33 tahun ia menggantungkan hidup di Pasar Pramuka. 

“Dari sejak pertama dagang kami sebagai pembeli, beli langsung toko ini,” ujarnya, menelusuri kembali jejak 33 tahun yang ia habiskan di Pasar Pramuka.

Namun, pada Jumat (14/11/2025) siang itu, ketika jam menunjukkan pukul 13.40 WIB, Jahendri hanya bisa melihat deretan rolling door tertutup, poster-poster protes yang menempel di dinding, serta karyawan yang duduk tanpa pekerjaan di depan kios-kios yang disegel. Pasar Pramuka hampir berhenti berdenyut, lembab, gelap, dan memantulkan keresahan ratusan pedagang.
H. Jahendri, pedagang obat di Pasar Pramuka, di tengah jaman yang sedang sulit justru dihantam masalah oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dan tidak lagi bisa menafkahi keluarganya.


Di tengah lorong yang remang, keluhan pedagang bersahut-sahutan: keluh soal harga sewa, soal penyegelan, soal masa depan yang tak lagi jelas. Suara-suara plester menempel pada kardus dan barang dagangan terdengar dari berbagai sudut, pertanda banyak yang mulai bersiap jika mereka harus angkat kaki.

Sebagian besar kios disegel oleh Perumda Pasar Jaya. Para pedagang tidak memiliki kewenangan membuka segel itu. Mereka hanya menunggu, bersandar pada harapan tipis bahwa kebijakan bisa berubah.

Harga Sewa yang Membumbung

Ketika ditanya soal akar persoalan yang mencekik para pedagang, Jahendri tak lagi bisa menahan nada kecewanya.

"Tarif yang sekarang itu, dikeluhkan pedagang harga dari PD Pasar dan Perumda itu harga sampai Rp390 Juta per kios," jelasnya.

Harga itu menghantam keras, apalagi bila dibandingkan dengan pasar lain.

"Sedangkan harga toko di sini itu nggak sampai begitu juga, kayak di Pasar Senen, di mana kita bandingin harga nya ggak sampai segitu, jauh mahal nya, melebihi batas," ungkapnya.

Bahkan skema pembayaran yang ditawarkan, cash, cicilan hingga 18 bulan, atau pembiayaan bank, tidak banyak membantu.

"Soal itu, kita gak masalah kalau harga nya cocok, kalau harga belum cocok gimana kita mau ngikutin?"

Bagi Jahendri, permasalahan ini bukan sekadar soal uang. Ini soal keberlanjutan hidup.

Pendapatan Turun, Pasar Bergeser

Sejak pandemi, pola belanja berubah drastis.

"Kalau pendapatan buat sekarang, semenjak kena imbas dari covid kemarin, sangat jauh menurun, kalau sebelumnya mungkin gak masalah ya, ditambah lagi online, ya kita sekarang dagang sepi lah, tidak seperti biasanya, mangkanya kita sekarang mengeluh," katanya.

Di saat pemasukan merosot, harga sewa justru naik tajam. Bagi pedagang kecil, jurang itu terasa mustahil dijembatani.

"Penyegelan itu kan memang sudah dikasih semacam surat peringatan satu dan dua, cuma kita kan karena harga nya tidak cocok, terus kita sudah beraudiensi  langsung menghadap Pak Gubernur (Pramono Anung) juga, kata Pak Gubernur tidak ada tutup, tidak ada penyegelan, tapi PD Pasar langsung main segel aja," jelasnya.

Orasi protes sempat menggema sebelumnya di area pasar.

 “Buka segelnya, buka segelnya!” teriak pedagang. Tapi setelah itu, kembali sunyi. Sunyi yang menghimpit.

Isu Mafia dan Realita di Lapangan

Tentang tudingan mafia kios, Jahendri menyampaikan apa adanya:

"Kalau mafia kios itu kita tidak tau, sepanjang saya ketahui secara factual tidak pernah ada kalau dipasar pramuka ," katanya Jahendri

Namun ia menegaskan bahwa Pasar Pramuka berbeda konteksnya.

"Sebenarnya rata-rata pemilik kios disini masih pada satu keluarga semua, satu kampung, turun temurun lah, jadi terkesan nya seperti jual beli, padahal tidak," jelasnya

"Sebenarnya rata-rata pemilik kios disini masih pada satu keluarga semua, satu kampung, turun temurun lah, misalnya dari paman nya, daripada dikasih ke orang lain, yang lanjutin keponakan nya ya kan, tongkat estafet nya seperti itu, jadi terkesan nya seperti jual beli, padahal tidak, tidak berubah nama pemohon hak pakai (PHP) nya itu," tambahnya

"Mungkin kalau di pasar-pasar lain ada seperti itu, Kalau di Pasar Pramuka gak mungkin lah seperti itu," katanya.

Menurutnya, isu itu muncul karena sebagian pedagang yang ketakutan ingin menjual kios setelah surat peringatan keluar.

"Ada yang menggiring opini publik seperti itu, cuman ujung-ujungnya orang gak ada yang mau, siapa yang mau beli, karena bakal direvitalisasi percuma juga, akhirnya ada yang disewakan,"

Revitalisasi: Dukung, Tapi Jangan Mematikan

Jahendri dan pihaknya tidak menolak revitalisasi.

"Kita mendukung revitalisasi ini, cuman permasalahan nya diharga aja, harga cocok yaudah selesai," katanya.

Yang ia takutkan justru adalah masa depan pedagang kecil.

"Artinya sangat mengancam keselamatan pedagang, kalau dipaksakan dengan harga sekarang itu gak bakalan kuat, ditambah dengan keadaan ekonomi sekarang, paling enam bulan pada nyerah," ungkapnya.

"Kalau bisa harga nya diselaraskan sesuaikan lah dengan situasi pasar dan daya beli di masyarakat, karena kan sekarang terjadi urbanisasi dari kompensional ke penjualan daring (online)," harapnya.

Ia bahkan menyampaikan hitungan yang paling jujur.

"Kaya saya nih, saya paksain harga Rp390 juta, paling selama enam bulan udah kejual motor dan lain-lain, udah pada nombok, daripada dapat surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga gitu kan nantinya" jelasnya.

Di balik lorong yang kini muram, Jahendri tetap berdiri. Bukan untuk menyerah. Tapi untuk bertahan. Ia adalah wajah dari ratusan pedagang lain yang menggantungkan hidup pada kios kecil 2 meter x 2 meter itu. Mereka menunggu keputusan yang menentukan, apakah Pasar Pramuka akan kembali hidup, atau justru kehilangan denyutnya untuk selamanya.(*)
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2018 - All Rights Reserved
Created by Nusantara Bicara