Riau, nusantarabicara -- Rencana pemerintah untuk merelokasi warga yang tinggal di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) masih menemui jalan buntu.
Lima bulan berlalu sejak Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) turun, tapi belum ada kepastian soal lahan pengganti. Bahkan data yang dijadikan dasar keputusan pemerintah terlihat tumpang tindih dan simpang siur.
Awalnya, Mayjen TNI Dody Triwinarto, Komandan Satgas, meminta warga melakukan relokasi mandiri dalam waktu tiga bulan setelah penebangan sawit dan pemasangan plang, pada 10 Juni lalu.
Namun, rencana itu akhirnya dibatalkan setelah warga menolak dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberi rekomendasi agar pemerintah meninjau ulang.
Dody mengaku, pemerintah saat ini tengah mencari lahan pengganti yang bisa digunakan warga untuk pemukiman dan kebun. Lahan yang disasar berasal dari kawasan di sekitar TNTN yang memiliki izin pemanfaatan hutan (PBPH).
Luas area itu mencapai 162.000 hektar sawit yang sudah tertanam. Pemerintah menilai, memindahkan sawit warga ke lahan-lahan PBPH tersebut adalah solusi yang paling praktis.
“Logikanya mudah, tapi tetap harus diverifikasi. Ada kelompok tani, masyarakat, dan perorangan,” jelas Dody, kemarin.
Lahan pengganti nantinya akan dikelola langsung oleh warga, sedangkan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bertugas menyiapkan skema dan teknis pengelolaannya.
Wakil Ketua II Satgas PKH, Dwi Agus, menambahkan, sembilan PBPH di sekitar TNTN disiapkan sebagai lokasi relokasi. Dari hasil citra satelit, tutupan sawit di area itu tercatat sekitar 32.903 hektar.
Beberapa perusahaan yang menguasai lokasi termasuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), PT Arara Abadi, dan PT Nusa Wana Raya, dengan total izin mencapai 174.437 hektare.
Meski begitu, data tersebut masih dalam tahap pra-verifikasi. Tim pusat akan turun langsung untuk memastikan kebenarannya. Satgas juga mencatat adanya permohonan pemutihan kawasan hutan oleh perusahaan.
Dari luas total 871,73 hektar yang diajukan, 821,02 hektar ditolak, sementara 50,71 hektar masih diproses. Lahan yang ditolak akan menjadi bagian dari skema penyediaan tempat tinggal bagi warga TNTN.
Namun, warga menolak keras skema relokasi tersebut. Abdul Aziz, juru bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, menegaskan bahwa persoalan TNTN jauh lebih kompleks.
“Ini bukan soal relokasi semata. Penetapan TNTN sejak awal tidak mengikuti prosedur pengukuhan kawasan konservasi. Sebelum ditetapkan 2004 dan diperluas 2009, masyarakat sudah tinggal di sini,” ujarnya.
Aziz menilai, pemerintah justru menyoroti kesalahan warga, padahal masalah utamanya adalah ketidakjelasan batas kawasan hutan dan pengelolaan TNTN yang amburadul.
Menurutnya, pemerintah seharusnya mengakui kesalahan dan menata ulang kawasan hutan di Riau, meskipun itu berarti luas TNTN berkurang. Sekitar 61.000 hektar kebun sawit perlu dikeluarkan dari kawasan.
“Relokasi saja tidak akan menyelesaikan masalah. Lebih baik diberikan akses perhutanan sosial atau sebagian izin perusahaan diubah menjadi kawasan hijau yang dikelola warga,” tambah Aziz.
Masyarakat pun siap menanggung biaya Rp500.000 per hektar per tahun untuk menghijaukan kembali 75.000 hektar kawasan.
Praktiknya, relokasi justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Lahan pengganti sebagian besar sudah dikuasai warga lain, sehingga bisa memicu konflik horizontal.
Temukan lebih banyak
Pekanbaru
Selain itu, ribuan keluarga belum mendapat informasi jelas soal skema relokasi, sementara beberapa mendengar kabar akan dipindahkan ke area dua perusahaan yang sudah disita Satgas, PT Musim Mas dan PT Duta Palma.
Kini, warga Tesso Nilo menegaskan pilihan mereka, yakni menolak relokasi dan merawat hutan sendiri demi hak dan lahan mereka, sambil menunggu pemerintah menemukan langkah yang benar-benar adil dan masuk akal. (Agus)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar