Nubic,
Jakarta - Presiden Joko Widodo pada 14 April 2016 menyatakan akan
menghentikan sementara (moratorium) perijinan kelapa sawit dan batubara.
Dalam draf Inpres Moratorium yang beredar, terdapat beberapa hal
diatur seperti evaluasi perijinan, penundaan pemberian hak guna usaha
(HGU), pemberdayaan petani, proses hilirisasi produk sawit dan persoalan
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Pernyataan tersebut memberikan
sinyal tentang moratorium sawit dimana tidak akan ada penerbitan
perijinan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Namun sampai saat ini
belum terlihat kejelasan kapan Inpres ini akan dikeluarkan.
Saat
ini, perkebunan kelapa sawit di Indonesia sangat luas dengan beragam
masalah mulai dari kerusakan lingkungan, konflik sosial, kondisi buruh
yang terabaikan, ancaman terhadap ketersediaan pangan dan lain-lainnya.
Moratorium sawit merupakan momentum baik untuk melakukan perbaikan tata
kelola perkebunan kelapa sawit.
“Luas
perkebunan sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 16,18 juta
hektar, namun produktivitasnya masih sangat rendah. Rata-rata
produktivitas minyak kelapa sawit Indonesia hanya 3,7 ton per hektar per
tahun. Pemerintah seharusnya melakukan intensifikasi untuk meningkatkan
produktivitas, bukan dengan memperluas lahan”, kata Inda Fatinaware,
Direktur Sawit Watch.
Industri
hulu kelapa sawit sangat berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan.
Menurut catatan Sawit Watch trend titik api kebakaran hutan dan lahan
pada umumnya tidak jauh dari konsesi perusahaan, dimana beberapa tahun
kemudian bekas kebakaran lahan tersebut sudah menjadi konsesi perkebunan
kelapa sawit. Kondisi tersebut ditemukan di beberapa wilayah seperti di
Riau, Sumsel, Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
“Temuan-temuan
tersebut memperkuat dugaan kami bahwa praktek pembukaan lahan dengan
cara membakar masih menjadi pilihan perusahaan perkebunan kelapa sawit
sawit. Dalam konteks ini, moratorium menjadi sangat penting untuk
memberikan waktu bagi sinkronisasi dan harmonisasi beragam peraturan dan
kebijakan di ekosistem gambut. Bila hal ini tidak secepatnya dilakukan
maka ‘ritual’ bencana asap karena kebakaran hutan dan lahan tiap tahun
akan terjadi”, lanjut Inda Fatinaware.
Jumlah
konflik agraria di perkebunan kelapa sawit sepanjang tahun terus
meningkat. Peningkatan konflik terutama terjadi di provinsi-provinsi
wilayah perusahaan perkebunan kelapa sawit berekspansi. Pada tahun 2016
misalnya terdapat 163 konflik dengan luas 601.680 hektar, terbanyak di
perkebunan sawit. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2015 dimana
terdapat 127 kasus konflik dengan luas 302.526 hektar. Penyumbang
konflik agraria adalah ekspansi HTI dan perkebunan sawit .
“Ekspansi
perkebunan sawit berkorelasi dengan meningkatnya konflik agraria.
Konflik ini semestinya dapat di-rem dengan menghentikan pemberian ijin
baru bagi perkebunan kelapa sawit”, kata Maryo Saputra, Kepala Divisi
Kampanye Sawit Watch.
Indonesia
mempunyai kebun yang luas lewat mengkonversi hutan-hutan dan
kebun-kebun rakyat menjadi perkebunan kelapa sawit. Sampai dengan 2016,
luas hutan yang dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit 5,23 juta Ha,
tetap realiasi untuk menjadi perkebunan kelapa sawit yang dapat
memberikan pemasukan pajak bagi negara cukup rendah yakni 2,889 juta
Ha.
“Hal ini dipicu oleh
dua hal yakni pertama, adanya kebijakan pemerintah Indonesia yang
berkeinginan menjadi negara terluas sehingga terdapat berbagai kemudahan
seperti perijinan, buruh tak terlindungi dan lain sebagainya”, lanjut
Maryo Saputra.
Tata
kelola perkebunan sawit, khususnya perlindungan terhadap buruh
perkebunan merupakan hal penting yang cenderung dilupakan pemerintah.
Padahal Menteri Ketenagakerjaan pernah mengatakan aspek perlindungan dan
peningkatan kesejahteraan para buruh/pekerja harus diutamakan dalam
pengelolaan perkebunan dan industri pengolahan sawit di seluruh
Indonesia. Menurut kami, monitoring dan evaluasi terhadap kondisi buruh
perkebunan sawit harus bagian dari evaluasi dan audit yang dilakukan
pemerintah terhadap perkebunan sawit dalam momentum moratorium sawit.
Pemerintah
sebaiknya tidak menetapkan moratorium sawit menggunakan jangka waktu.
Pemerintah dapat menggunakan indikator dan capaian yang jelas dan
terukur sebagai cara untuk melakukan peninjauan terhadap moratorium
sawit.
Oleh karena itu, Sawit Watch dengan tegas menyatakan sikap kepada
Presiden Joko Widodo untuk:
1. Mengimplementasikan
kebijakan moratorium sawit dengan secepatnya mengeluarkan kebijakan
penundaan pemberian izin baru perkebunan kelapa sawit dalam bentuk
Peraturan Presiden.
2. Melakukan
perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia disertai
dengan rencana aksi dan indikator capaian yang jelas dan terukur,
mencakup:
(a) Membentuk Tim Independen untuk melakukan audit kepatuhan
dan merekomendasikan pencabutan atau penciutan izin-izin perkebunan yang
melanggar hukum.
(b) Penguatan kerangka regulasi perkebunan kelapa
sawit dan sinkronisasi dengan regulasi sektor lainnya (kehutanan,
pertambangan, penataan ruang, dan lain-lain).
(c) Melakukan
upaya-upaya intensifikasi perkebunan kelapa sawit yang sudah ada
khususnya pekebun skala kecil, inventarisasi kebun sawit non skema, dan
penataan hilirisasi industri sawit.
(d) Mempercepat upaya-upaya
dukungan dalam replanting (penanaman kembali) bagi pekebun skala kecil.
(e) Menetapkan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan buruh perkebunan
kelapa sawit.
3. Memperkuat
perlindungan hutan alam dan lahan gambut melalui audit kepatuhan
seluruh industri/usaha berbasis lahan dan melakukan penegakan hukum
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan.
4. Berkenaan
dengan implementasi moratorium sawit, pemerintah perlu membuat
monitoring evaluasi secara berkala terhadap implementasi moratorium
sawit tersebut dan dilakukan bersama-sama publik. (Yp)
Posting Komentar