www.nusantarabicara.co

www.nusantarabicara.co
Media Perjuangan Penerus Cita-cita "The Founding Fathers" Bangsa Indonesia
Home » » Menghidupkan Kembali Serikat Dagang Islam dalam Tubuh Syarikat Islam Indonesia, Jawaban Ideologis atas Tantangan Zaman

Menghidupkan Kembali Serikat Dagang Islam dalam Tubuh Syarikat Islam Indonesia, Jawaban Ideologis atas Tantangan Zaman

Written By Nusantara Bicara on 23 Jul 2025 | Juli 23, 2025


Penulis.
Ardinal Bandaro Putiah

Di Persimpangan Sejarah dan Keniscayaan Zaman

Indonesia tengah menghadapi situasi paradoks dimana di satu sisi, kekayaan sumber daya alam dan potensi manusianya luar biasa, namun di sisi lain, ketimpangan ekonomi, penetrasi kapitalisme global, dan lemahnya kedaulatan ekonomi umat semakin nyata. Dalam konteks ini, pertanyaan besar muncul  di mana posisi umat Islam sebagai mayoritas, dan bagaimana kekuatan organisasinya menjawab krisis struktural ini?

Syarikat Islam Indonesia (SII) sebagai warisan gerakan awal kebangkitan nasional, memiliki akar historis yang kuat dan relevan untuk kembali mengambil peran sentral dalam penguatan ekonomi umat. Namun, SII hari ini tak bisa berjalan di tempat dengan format organisasi semata. Ia harus kembali ke akar perjuangannya, yaitu Serikat Dagang Islam (SDI) sebagai bentuk praksis ekonomi, bukan sekadar simbol sejarah.

Membangkitkan kembali Serikat Dagang Islam dalam tubuh SII bukan nostalgia romantis, melainkan jawaban ideologis dan strategis terhadap tantangan zaman. Artikel ini akan menguraikan secara naratif, ideologis, dan kritis urgensi tersebut, sekaligus menawarkan kerangka logis dan arah praksisnya.

*Warisan Serikat Dagang Islam, Gerakan Ideologis Bukan Sekadar Ekonomi*

Serikat Dagang Islam lahir pada 1905 di bawah kepemimpinan Haji Samanhudi dan segera menjadi kekuatan ekonomi-politik umat Islam di Hindia Belanda. Ia bukan sekadar organisasi pedagang batik, tapi suatu gerakan ideologis yang hendak memerdekakan umat dari cengkeraman kapitalisme kolonial dan dominasi ekonomi etnis tertentu.

Pendekatan SDI bukanlah ekonomi bebas nilai. Dagang adalah instrumen perjuangan. Ekonomi adalah medan jihad. Etika Islam menjadi fondasi transaksi. “Jual-beli adalah ibadah bila diniatkan untuk membebaskan umat,” begitu kira-kira semangatnya.

Yang lebih penting, SDI menyadarkan kita bahwa perjuangan politik dan kemerdekaan tak bisa dilepaskan dari basis kekuatan ekonomi. Tanpa kemandirian ekonomi, umat hanya akan menjadi penonton dalam panggung politik nasional. Inilah kritik tajam kepada gerakan Islam kontemporer yang sering terjebak dalam aktivisme simbolik, namun lumpuh secara ekonomi.

*Kapitalisme Global dan Kemandulan Gerakan Umat*

Dalam dunia yang semakin terkoneksi dan terkonsentrasi oleh kekuatan ekonomi global, umat Islam Indonesia terjebak dalam peran konsumen pasif. E-commerce raksasa milik asing membanjiri pasar lokal, sementara pasar tradisional umat makin terpinggirkan.

Para pemuda Islam hari ini lebih familiar dengan aplikasi belanja online dibandingkan koperasi syariah. Mereka lebih mengenal merek luar negeri daripada nama-nama saudagar Muslim lokal. Ini bukan sekadar persoalan konsumsi, tapi soal arah ideologis, umat telah kehilangan kesadaran kelas dan agenda kemandirian.

Syarikat Islam Indonesia seharusnya menjadi pelopor dalam membangkitkan kembali kesadaran ekonomi umat. Tapi SII tak cukup hanya menjadi forum diskusi, tempat kaderisasi, atau lembaga politik. Ia harus kembali menjadi organisasi ekonomi, organisasi dagang yang hidup, dinamis, dan berpihak pada kelas kecil-menengah Muslim yang tertindas.

Maka membangkitkan kembali Serikat Dagang Islam bukan opsional, tapi fardhu kifayah struktural. Tanpa itu, SII hanya akan menjadi menara gading ideologis tanpa kaki di bumi.

*Konsepsi Ideologis—Ekonomi sebagai Perjuangan, Bukan Sekadar Laba*

Mengapa perlu kembali ke SDI? Karena SDI adalah pengejawantahan nyata dari ideologi SII. Ekonomi dalam Islam bukan sekadar perputaran uang, tapi jalan menuju kemerdekaan manusia. Rasulullah SAW adalah saudagar. Khadijah RA adalah saudagar. Para sahabat adalah pedagang-pemimpin. Islam memuliakan harta, tetapi dengan syarat semua itu ia digunakan untuk kebaikan kolektif.

Dalam pandangan ideologis Syarikat Islam, harta adalah amanah. Maka, sistem dagang harus adil, transparan, dan berorientasi pada pemberdayaan kaum mustadh’afin. Melalui SDI, umat tidak hanya diajarkan cara berdagang, tetapi juga cara berpikir sebagai pemilik sistem. Mereka bukan sekadar pelaku ekonomi, tapi pengendali peradaban.

Inilah perbedaan mendasar SDI dari koperasi biasa atau UMKM negara. SDI bukan sekadar wadah ekonomi. Ia adalah gerakan ideologis, membangun kekuatan ekonomi sebagai basis perubahan politik dan sosial.

*Tantangan Kontemporer dan Kegagalan Pendekatan Negara*

Di era reformasi, program-program negara seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), Bantuan UMKM, hingga gerakan “Bela Produk Lokal” nyaris tak menyentuh akar masalah. Mengapa? Karena pendekatannya teknokratik, tanpa landasan ideologis.

Negara hanya mendorong umat untuk menjadi pedagang, tetapi tidak membangun mentalitas pengusaha militan. Negara hanya memfasilitasi pinjaman, tapi tidak menumbuhkan solidaritas produksi. Negara hanya mendorong pasar, tapi lupa membangun jaringan distribusi internal umat.

Dalam kekosongan inilah, Syarikat Islam harus hadir dengan SDI-nya. Tidak cukup hanya mengadvokasi kebijakan, SII harus menjadi produsen kebijakan itu sendiri melalui kekuatan ekonomi yang mandiri.

 *Strategi dan Kerangka Implementasi: SDI Abad ke-21*

Membangkitkan kembali SDI bukan berarti meniru bentuk lamanya secara literal. SDI abad ke-21 harus menjawab tantangan baru dimana digitalisasi ekonomi, e-commerce, disrupsi teknologi, dan sistem distribusi global.

Beberapa kerangka strategis yang bisa dijalankan:

1. Membangun Jaringan Saudagar Muda Ideologis.  Kader SII harus digembleng bukan hanya di ruang diskusi, tapi juga di pasar. Pendidikan kader harus mencetak ideolog dan pedagang dalam satu tubuh. Mereka harus bisa membaca pasar sekaligus membawa visi perubahan.

2. Mendirikan Platform Dagang Digital Umat. E-commerce milik umat harus dibangun berbasis koperasi digital. Produk lokal umat didistribusikan lewat jalur yang dikuasai sendiri. Bukan bergantung pada algoritma aplikasi asing, tapi berbasis jaringan kader dan simpul komunitas.

3. Mendirikan Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Tanpa pembiayaan mandiri, SDI akan tergantung pada negara atau bank konvensional. Perlu didirikan lembaga keuangan mikro syariah internal berbasis trust dan solidaritas antar kader.

4. Penguatan Ekosistem Produksi dan Konsumsi Internal. Produk-produk kader SDI harus digunakan oleh kader SII. Kader membeli dari kader. Organisasi menghidupi anggotanya, dan anggota menghidupi organisasinya.

5. Aliansi Strategis antar Ormas Ekonomi Umat. SDI harus menjadi pelopor persatuan ekonomi umat lintas ormas. Bukankah dulu HOS Tjokroaminoto mengimpikan satu konfederasi dagang Islam seluruh nusantara?

*Kegagalan Masa Lalu dan Pelajaran untuk Masa Depan*

Perlu diakui, kebangkitan ekonomi umat sering gagal karena dua hal: pertama, tidak ada konsistensi ideologis; kedua, tidak ada keberanian struktural.

Banyak organisasi Islam terjebak pada proyek jangka pendek. Ketika semangat tinggi, dibuat koperasi atau unit usaha. Tapi begitu kepengurusan berganti, semua mati. Ini bukan karena umat malas berdagang, tapi karena visi jangka panjang tak pernah ditanamkan.

SII, sebagai organisasi ideologis, harus menjadi antitesis dari pola ini. SDI harus dibangun bukan sebagai proyek, tapi sebagai sistem gerakan jangka panjang. Butuh pendidikan kader yang konsisten, regenerasi yang terencana, dan arah yang jelas.

Membangkitkan kembali Serikat Dagang Islam bukan sekadar rebranding atau program kerja. Ia adalah jalan panjang menuju kedaulatan ekonomi umat. Ia adalah fondasi bagi kebangkitan politik Islam yang berakar pada kekuatan materiil dan spiritual.

Tentu, jalan ini tidak mudah. Kita akan dihadapkan pada sinisme, tantangan pasar, keterbatasan modal, bahkan konflik internal. Namun, bila SII konsisten melahirkan kader-kader yang berani berdagang dan berdakwah, maka jalan ini akan menjadi cahaya baru bagi umat.

Kini saatnya Syarikat Islam Indonesia tidak hanya bicara ideologi di podium, tapi juga berdiri tegak di pasar. Kini saatnya kader tidak hanya berdiskusi di forum, tapi juga menanam modal bersama dan mendistribusikan hasilnya ke umat. Kini saatnya Serikat Dagang Islam bangkit, bukan sebagai nostalgia masa lalu, tapi sebagai pilar peradaban masa depan.

“Hidup Serikat Dagang Islam! Tegakkan Ekonomi Umat, Tegakkan Keadilan Sosial, Tegakkan Islam sebagai Rahmat bagi Semesta!”

Wallahu'alam, 
Pondok Syarikat, 23 Juli 2025.
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2018 - All Rights Reserved
Created by Nusantara Bicara